Selasa, 18 Februari 2014

[FANFICTION: 2PM] Best Wishes You



                Anyeong haseyo yeorobun.. Author gaje yang tiba-tiba menghilang ini kembali muncul dengan fanfic yang berbeda dari sebelumnya. Dan pertama kalinya menggunakan cast seorang namja tampan yang sedang hangat-hangatnya sejak awal 2014. Siapakah dia??
                Ide untuk membuat cerita ini karena seorang teman yang menjadi penggemar berat dari namja ini. Cerita ini sedikit menggambarkan perasaannya kepada namja ini. Sebenarnya cerita ini sudah kuketik sejak penayangan perdana reality show ‘itu’. Tapi, karena mood saya yang masih labil akhirnya baru di teruskan dan diselesaikan hari Selasa 18 Februari. Ditengah waktu yang sempit, tapi aku mencoba memanfaatkan sedikit untuk menyelesaikannya.
Dan cerita ini tidak bermaksud menjelek-jelekkan seseorang, cerita ini hanya sebatas penyaluran hobi yang bersifat menghibur. Tidak ada sangkut pautnya dengan pribadi cast yang dipakai. Intinya ini adalah cerita fiksi yang tidak sama dengan kenyataannya. That’s real just a FanFiction.
                Karena sudah terlalu lama hiatus, pasti masih banyak kekurangan dalam karya ini. Mohon komentar serta kritik yang membangun. Jika tidak berkenan membaca, ya berhenti saja sampai di sini daripada nanti menyesal. Okeee, yang sudah siap, pasang sabuk pengamannya. Siapkan obat sakit kepala. Hehehe…
                Cekidot… Happy and enjoy, guys! ^^


Title: Best Wishes You
Author: Muna Arakida aka HyeRim
Length: Oneshot
Genre: Angst, Friendship
Cast: Jang Wooyoung (2PM), Lee Hyejung (OC)
Desclaimer: This story only my imagine, just for fun. Don’t be plagiarism! Don’t bash! Happy and enjoy reading ^^




                Udara di luar masih melilit tubuhku, membuatku kaku oleh hawa musim dingin. Pepohonan dekat jendela kamarku yang biasa kunikmati warna sejuknya kini hanya tersisa ranting yang sangat ringkih tertindih butiran es. Sama seperti hatiku, dipenuhioleh bongkahan es yang kini kehilangan cafein—terbang bersama pemiliknya dan seorang gadis di sana.
                Awalnya, kukira itu hanya sebuah lelucon saat dirinya mendatangiku awal Desember lalu. Pertemuan pertama setelah sekian lama terpisah karena kegiatannya yang terlampau banyak. Pertemuan pertama yang kuharap akan mencairkan suasana sunyi tanpa celotehannya sejak pertengkaran kecil kami beberapa minggu lalu. Namun, itu hanya ada dalam angan yang lenyap seketika, terbawa kabut gelap yang tiba-tiba muncul.

                “Ya! Youngie-ah! Sekarang bukan waktunya untuk bercanda. Ishh~”
                “Ani.”

                Kulanjutkan kembali mencoret-coret kertas yang kini nyaris tanpa sisa, hanya dipenuhi tumpukan huruf serta angka. Pensil dengan gantungan gambar chibi karakternya terus bergerak. Gerakan yang awalnya teratur semakin lama semakin cepat dan berhenti. Kutatap gantungan pensilku. Kusentuh perlahan permukaannya dengan ibu jari. Semakin kuusap semakin jelas sosoknya. Entah kenapa seperti ada desakan dalam dadaku hingga membuat dadaku seperti terhimpit beban yang teramat besar.
                Sebulir airmata melesak cepat dari yang kuduga. Refleks tangan kananku mengusapnya mencegah akan volume yang bertambah besar, tapi sia-sia. Hingga akhirnya aku menyerah, membiarkan anakan sungai dipipiku yang semakin deras. Bahuku naik turun tak berirama. Sesegukan yang memenuhi kamarku menjadi backsound suasana yang melandaku.

00000


                Annyeong, Hyejung-ah!” seseorang berteriak beberapa meter di depanku dengan melambaikan tangannya.
                “Ah,, annyeong Hyerim-ah,” sapaku pada gadis yang sudah sangat kukenal. Ia berlari kecil menghampiriku lalu merangkulkan lengan kanannya pada bahuku. Ia tersenyum lebar, senyuman yang dulu pernah kumiliki juga. Tiba-tiba bibir yang melengkung itu mengerucut. Kedua alisnya juga bertaut. Kedua manik mata coklatnya menelisik wajahku, terutama kedua mataku.
                Wae?” tanyaku.
                Ishh… Ige mwoya?” serangnya sembari menunjuk bagian bawah mataku. Ah, apakah ini terlalu jelas? Padahal aku sudah mengompresnya tadi malam.
                Arra.. Arra.. Keundae, haruskah kau terus menangisinya. Jebal, Hyejung, berpikir positif! Buang semua kemungkinan-kemungkinan yang sudah tercetak di otak bodohmu itu! Ish, jinjja.. Kau membuatku lapar. Kajja ke kantin!” tangan kanannya menarik kuat tanganku. Terima kasih, Hyerim. Aku tahu kata-kata kasarmu sangat berkebalikan dengan isi hatimu. Maaf membuatmu selalu mencemaskanku.
                Diperjalanan menuju kantin Hyerim terus berceloteh tentang apapun, terutama hal-hal yang tidak jelas dan tidak perlu dibahas. Aku terus menatap wajah cerianya walaupun suhu rendah membuat seluruh tubuh kaku, tapi ia terus menunjukkan senyum hangatnya yang mampu melelehkan kebekuan dalam hatiku.
                Melihatnya berusaha menampilkan wajah cerianya disertai celotehannya, membuatku kembali terkenang dengan sosoknya yang berhasil membuat kantung mata hitam pekat. Seperti kembali pada saat kami bertiga menghabiskan waktu senggang bersama di sekolah menengah atas. Aku, Hyerim, dan dia.

00000


                Ya ya ya! Geumanhae! Ya!” lengannya yang lebih besar dari punyaku mencoba menghalangi semburan deras dari selang air yang kuarahkan padanya. Aku sangat senang mengganggunya apalagi menggodanya yang sedang serius latihan menari di halaman rumahnya.
                “Ha ha ha.. Shireo!! Ini akan bagus untuk tarianmu. Anggap saja kau sedang membuat MV-mu di masa yang akan datang di tengah hujan. Wah, daebak! Membayangkannya saja sudah membuatku berdebar, Yongie-ah.. Ha ha ha….” Semakin dirinya menhindariku semakin gencar aku memburunya. Entahlah, rasanya seperti hal yang membahagiakan. Dalam pandanganku, bunga-bunga di sekitarku bergoyang pelan dengan air yang jatuh di seluruh kelopaknya. Bahkan, aku seperti melihat kupu-kupu biston yang mengerubungi kami membentuk lingkaran.
                Hap. Dengan sigap dan akalnya yang ternyata lebih cerdik seperti biasa, ia berlari menuju keran di pojok halaman, dekat pot besar berisi bunga matahari. Seketika ada sedikit rasa kecewa yang membaur dengan senyumanku yang semakin mengecil. Kini posisipun berbalik, ia menjulurkan lidahnya lalu berlari ke dalam rumah meninggalkanku. Aku mendengus kesal. Berlari mengikuti langkahnya.
                “Sudah kukatakan, aku ini Jang Wooyoung, lelaki hebat dan cerdas, hahahaha… Ck, wajah macam apa itu?” tangannya yang jahil mengacak keras rambutku. Belum puas sampai disitu, ia menjawil hidungku yang kubalas dengan pukulan ringab dilengannya.
                Ara ara… Ish.. Memangnya kau tidak bisa bercanda sebentar saja. Jangan terlalu serius dengan sesuatu, nanti wajahmu lebih cepat tua,” cibirku sambil menangkap handuk yang dilemparkannya.
                “Wajahku akan seperti ini sampai ratusan tahun yang akan datang, tetap menjadi pangeran tertampan di dunia,” suara sin arsis itu terdengar menjauh dariku. Kuhentikan tanganku yang tengah menghanduki rambutku yang lembab. Mataku mencari arah suara tadi.
                “Memangnya gumiho. Ish, jinjja”. Aku mendekatinya yang tengah duduk di kursi ruang makan—meminum segelas air putih dingin. Kugeser kursi yang tepat berada di depannya dan mengambil posisi duduk. Mencomot cookies dari dalam toples, mengacuhkannya yang kembali menyerangku dengan kata-katanya.

                “Na na na na na … Aku tidak mendengar apapun, tidak mendengarmu….” Ujarku sambil menutup kedua telinga dan menjauh darinya. Aku tertawa geli melihatnya mengerucutkan bibirnya. Aku merasa senang karena telah memenangkan adu mulut ini. Rasanya seperti ada ribuan kupu-kupu yang meledak keluar dari hatiku.
                Sebenarnya aku sangat tahu perkataannya tentang keseriusannya dalam latihan menari tadi. Impiannya untuk menjadi international dancer yang bisa merasakan panggung broadway pernah dikatakannya dulu. Saat kami kanak-kanak ia selalu menari di manapun. Apalagi jika sekolah kami mengadakan pensi, tak urung ia mempertunjukkan kebolehannya.
                Kejuaraan dalam kompetisi menari juga sering disabetnya. Bahkan bukti tersebut memenuhi beberapa sudut kamar. Aku yang lebih suka melihatnya menari daripada mengikuti jejaknya mulai merasakan suatu perasaan aneh tetapi nyaman tentangnya.
                Terlalu sering bersamanya sejak memasuki taman kanak-kanak semakin membuatku merasa dialah duniaku. Bagiku, dia seperti malaikatku yang selalu menolongku dalam kesusahan. Pernah juga ia pertaruhkan nyawanya demi menolongku keluar dari kobaran api di sebuah rumah tua. Saat itu usianya baru menginjak lima tahun.
                Semakin sering bersama akupun tak bisa lepas dari sebuah ikatan misterius yang membuatku selalu ingin bersamanya. Dan akupun nekat mengikutinya sekolah di Seoul. Umurku yang baru lima belas tahun dan jarang bepergian membuat orangtua kami sepakat menyewa apartemen berdampingan. Seperti biasanya, aku selalu bersamanya. Hingga membuatku tak bisa lagi membendung rasa sukaku padanya. Tak bisa lagi menyembunyikan rasaku.
                Malam itu, salju pertama turun di saat aku baru pulang dari kerja parttime-ku. Sejak pagi aku sudah berniat untuk mengungkapkan rasa sukaku padanya. Karena itulah langkahku berbelok memasuki sebuah kafe dekat dari apartemen, memintanya untuk bertemu di sana.
                “Bukankah ini terlalu dingin. Kenapa tidak mengatakannya di apartemen saja?” tanyanya ketika baru masuk kafe dan menghampiriku yang duduk manis di pojok ruangan. Tangannya yang dilapisi sarung tangan di gesek-gesekan, mencari kehangatan. Aku hanya tersenyum menanggapinya. Melihat wajahnya yang memerah membuatku bahagia. Sepertinya ia harus berusaha keras melawan salju untuk mengabulkan permintaanku ini.
                Seorang waiter wanita menghampiri meja kami. Melakukan pekerjaannya untuk menanyakan pesanan pelanggan. Aku memilih coklat panas, sedangkan dia memesan cappuccino.
                “Youngie-ah..” Ia menoleh ke arahku, meninggalkan kesibukannya dari ponselnya. Menatapku dengan tatapan yang tak biasa.
                Waeyo?” nada suaranya terdengar serius. Ah, rupanya ia mengerti tentang kegugupanku. Wajahnya yang semula kocak kini seperti beku di malam itu.
                Na neo joahae..” Aku menunduk. Tak berani mengangkat wajahku. Kedua tanganku saling mengait, menggerakkan jemariku cepat. Dan kurasakan keringat dingin membasahi wajah serta telapak tanganku. Berbeda dengan pipiku yang kian memanas.

00000


                Sejak peristiwa di malam salju pertama turun itu, aku resmi menjadi yeochingu, dan dia resmi menjadi namchingu-ku. Rasanya seluruh jiwaku hangat, nyaman, dan tenang. Senyumku tak pernah lepas dan jantungku selalu berdegup kencang, memikirkannya, membayangkannya, bahkan bersamanya.
                Awalnya, sikapnya padaku kaku, itu diluar dugaanku. Tapi semakin hari semakin biasa, seperti sebelum ikatan ini terjalin. Aku masih ingat sampai sekarang saat merayakan hari jadi kami yang kedua, ia menyiapkan candle light dinner untukku. Hanya saja, saat situasi yang seharusnya romantis berubah menjadi kekakuan. Aku hanya bisa tersenyum melihatnya yang salah tingkah.
Walaupun ia tak bisa romantis, setidaknya ia mau berusaha untuk mengembalikan situasi nyaman yang sempat hilang. Ia duduk di sebuah bangku. Meletakkan jemari-jemarinya pada tuts piano. Dengan lincah ia memainkan sebuah lagu—yang awalnya aku tidak tahu tentang lagu itu.
Setelah menekan tuts terakhir, ia berdiri dan menghampiriku. Menawarkan telapak tangan kanannya padaku, aku pun meletakkan telapak tangan kiriku di atasnya—yang langsung digenggamnya. Ia mengajakku duduk di sampingnya—di depan piano itu. Ia mengulangi lagi permainannya—yang lagi-lagi aku belum mengetahui lagu apa yang dimainkannya itu.
Jemarinya yang indah beradu dengan permukaan tuts sangat serasi. Kepalanya tak henti-hentinya menoleh padaku, memberikan senyuman terindahnya. Hatiku hangat, pacuan jantungku bertambah.
Tak sadar permainannya berakhir. Aku yang sedari tadi tak berhenti menatapnya beradu pandang dengannya, akupun gugup, hanya bisa menundukkan kepalaku.
 “Lagu ini kubuat untukmu, judulnya This is Love,” kalimat pertama setelah permainan indahnya. Aku tersipu malu.  Masih menundukkan kepala. Remasan jemariku semakin menguat intensitasnya. Tiba-tiba tangannya menggenggam tanganku. Mencoba meredakan kegugupanku.
“Hyejung-ah, na neo saranghae,” pernyataannya itu sukses membuat linangan air mata melesak dari sudut mataku. Jemarinya dengan lembut menghapus setiap buliran air mataku. Senyumnya yang hangat membuatku nyaman. Kini giliran tangan kananku yang menggenggamnya.
Nado saranghae.”

00000


Sudah dua hari dia tak menghubungiku. Bahkan pesan singkat yang sudah entah keberapa kalinya tetap tak juga dibalasnya. Apalagi sekedar menjawab panggilan teleponku. Aku tahu aku yang salah. Berusaha bersikap manis tetapi terlampau kekanak-kanakan.
Malam itu, malam di mana salju pertama turun yang kami nikmati kali ketujuh sejak peristiwa pengakuanku. Seperti biasa, kami menghabiskan waktu di kafe yang menjadi saksi bisu cinta kami. Ide jahilku datang begitu saja. Aku mengambil ponselnya yang tergeletak pasrah di atas meja ketika ia pergi ke toilet. Menekan tombol power hingga tampilan layar mati.
Di saat ia kembali aku mencoba mengalihkan perhatiannya agar tak ingat dengan ponselnya yang sudah kuletakkan seperti posisi semula. Seperti yang kuharap, ia sama sekali tak menyentuh ponselnya. Aku tertawa penuh kemenangan di dalam hati.
Oh, ayolah, aku tahu ini sangat kekanak-kanakan dan egois. Aku hanya ingin menghabiskan sedikit waktu yang kami punya untuk bersama. Sejak ia memutuskan mengikuti trainee beberapa tahun lalu ia berhasil bergabung dengan grup boyband yang sangat terkenal dengan akrobatik dance-nya. Dan sejak itu pula intensitas kebersamaan kami semakin berkurang, bahkan nyaris hilang jika saja aku tak mencoba mengunjunginya di sela-sela waktu istirahatnya.
Chagi-ya..” ia menoleh ke arahku. Aku mengerucutkan bibirku. Sebal dengannya karena mengacuhkanku dan lebih memilih berkencan dengan ipad-nya. Hanya sekilas, lalu kembali menyibukkan diri menggerakkan jemarinya di atas permukaan benda yang berhasil membuatku cemburu.
Chagi-ya…” rajukku sambil meletakkan kedua tangannku di atas meja, menopang dagu. Kembali ia menoleh padaku.
Mwo?” hanya mengeluarkan kata itu dan kembali berkencan dengan benda itu. Aku semakin cemburu. Padahal ini adalah waktu yang paling berharga di tengah kesibukkannya. Dan aku sudah bersusah payah mencari waktu terluangnya yang termasuk sibuk.
Ya! Yongie-ah!” teriakku. Akhirnya kekesalanku yang sudah di ubun-ubun meledak begitu saja. Tanganku mengepal di atas meja setelah menggebraknya. Terdengar beberapa bisikan yang kuduga dari pengunjung kafe.  Dan usahaku untuk merampas kembali perhatiannya dari ipad bodoh itu tak sia-sia.
Ia menatapku. Menatap dengan tatapan yang serius, sangat serius. Membuatku tak bisa menyembunyika senyumku. Akupun tertawa kecil melihatnya. Tapi, melihatnya yang masih memasang wajah dingin itu membuatku beku seketika.
Geumanhae. Berhentilah bertingkah seperti anak kecil.” Aku hanya bisa menelan ludah tanpa berani membalas tatapannya. Bahkan yang kurasakan, aku seperti menelan bongkahan es yang besar dan keras.
Beberapa menit berlalu. Tanpa sepatah katapun yang keluar darinya. Aku yang sejak tadi ingin megeluarkan lelucon untuk mengembalikan atmosfir hangat ragu untuk melakukannya. Salah-salah justru akan memperbesar gunung es di antara kami berdua.
Dari ujung buku yang sedang kubaca—sekedar berpura-pura—kulihat ia menaruh ipad bodoh itu. Ada sedikit rasa lega dalam hatiku. Dan juga senang tentunya. Sepertinya ini waktu yang tepat untuk menghangatkan situasi.
“Hyejung-ah..” kudengar ia memanggilku. Aku tersenyum. Sepertinya ia kembali menjadi Wooyoung yang hangat. Dengan senang hati kuangkat kepalaku dan memandangnya, memasang senyum terindahku.
Ne?
Igeo mwoya?” tanyanya. Dugaanku salah besar. Sangat berbeda seratus delapan puluh derajat. Matanya seakan bisa mengeluarkan laser yang bisa melenyapkanku seketika itu juga. Aku kembali menelan ludah yang entah sudah keberapa kalinya.
Arah pandangku menyusuri lengan kanannya. Dan berhenti di satu titik. Titik di mana bisa membuatku seolah-olah terlempar jauh ke Samudera Hindia.
Jemarinya dengan cepat menyentuh permukaan benda itu. Terdengar juga nada power dari benda itu. Matanya kembali menatap tajam kepadaku lalu kembali mengarah ke benda itu.
Yeoboseyo, Hyung. Ne, mianheyo. Ne, araseoyo.” Iapun memutuskan panggilan teleponnya. Bersama dengan berakhirnya panggilan itu, berakhir pula kebersamaan kami di malam itu. Ia pergi dengan tergesa begitu saja. Tanpa menoleh sedikitpun ke arahku. Airmataku terjun bebas.

00000


“Hyejung-ah. Kurasa ini menarik. Seorang pemadam kebakaran yang jatuh cinta dengan seorang dokter. Hmmm…” ujarnya seperti menganalis apa yang tertera di cover kaset. Aku hanya memandangnya tanpa memberi jawaban. Langkahku bergerak ke rak musik indie. Tiba-tiba rasa sakit di dadaku muncul, kembali mengingat tentangnya.
Akupun memilih meninggalkan rak itu. Mencoba memulihkan rasa sakit yang kudera. Berjalan melewati beberapa rak. Tapi mataku terlanjur melihatnya. Melihatnya bersama beberapa pria di cover itu dengan tulisan ‘2PM’ di atasnya. Langkahku semakin memburu. Dengan sekali gerakan, kaset itu sudah berada di tanganku.
“Hyejung-ah….” Aku tak mengalihkan pandanganku. Tetap memandang potret seseorang yang sangat kurindukan.
Gwaenchanayo..” kataku ketika ia akan mengeluarkan suaranya. Tangannya menepuk-nepuk bahuku. “Nan gwaenchana. Kajja!” potret itupun kutinggalkan di rak itu. Walaupun aku tak sanggup untuk meninggalkannya.

00000


Sejak sore tadi aku terus-terusan sibuk mengacak-acak isi lemari. Mencari pakaian yang indah untuk pertemuan penting nanti. Tapi dari beberapa koleksi yang kupunya tidak ada satupun yang menarik.      Bergegas kuambil coat coklat yang tergeletak di atas ranjang dan mengambil tas tangan beserta kunci mobil. Tak butuh waktu lama akupun memasuki kawasan Dongdaemun. Turun dari mobil dan memasuki salah satu toko.
Beberapa baju sudah kucoba. Tapi tetap saja belum ada yang cocok untukku. Dan kuyakin beberapa pelayan wanita yang melayaniku menggelengkan kepalanya dan tampak lelah menghadapiku.
Langkahku membawaku untuk mengelilingi setiap sudut toko. Mataku berhenti di satu titik. Dress biru muda simple dengan pita di bagian pingganggnya berhasil menyedot perhatianku. Segera kuambil dress tersebut dan membawanya ke ruang pas.
Aku tersenyum senang, sudah dua kantong belanjaan yang kutenteng menuju mobil. Kurasa dress dan sepatu yang warnanya sepadan sudah cukup. Akupun mengarahkan laju mobil ke apartemen.
Waktu yang kutunggu-tunggupun tiba. Aku memasuki kafe langgananku. Berjalan ke sudut kafe yang sudah familiar. Seseorang sudah menunggu di sana. Padahal kukira ini belum sampai di waktu janjian kami.
Aku berjalan dengan senyum yang mengembang. Tapi, setelah kufokuskan pandanganku, dia tak sendiri di sana. Ada dua orang pria berjas rapi. Akupun membelokkan langkahku, mengambil duduk di meja dekat mereka.
“Ah, agassi.. Woo…”
“Sst.. Anni.. Jangan beritahu dia.”
Waiter itu, Nara, yang sudah mengenalku mengangguk mengerti. Iapun segera pergi setelah kukatakan pesananku. Masih sepuluh menit lagi sampai waktu janjian kami. Masih bisa menyesap coklat hangat sebelum bertemu dengannya—untuk menenangkan pikiranku.
                “Kamsahamnida..” suara itu, suara yang sangat kukenal. Kulihat bayangannya yang membungkuk ke arah dua orang di depannya. Dua orang itu pergi melewatiku dan menghilang dibalik pintu. Mataku melihat ke arah jam tangan, masih lima menit lagi. Kuputuskan untuk menunda mendatanginya.
                Lima menit itu berlalu begitu cepat. Membuat kerja jantungku semakin keras. Buliran hasil sekresi melewati dahiku, segera kukeringkan dengan tisu dan membenarkan dandananku.
                Dengan langkah pelan, aku berjalan ke arahnya. Tepat dua langkah dari meja, ia menolehkan kepalanya ke arahku. Masih sama seperti terakhir kali bertemu. Bedanya, tatapan tajamnya hanya beberapa persen saja.
                Kupikir ia sudah melupakan kejadian itu, tapi sepertinya belum. Ia tak banyak bicara. Hanya berkata seperlunya, menjawab pertanyaan Nara tentang pesanannya dan menjawab pertanyaanku tentang kabarnya.
                “Aku akan menikah.” Refleks mataku menatapnya. Memastikan bahwa itu keluar dari bibirnya.
                “Yeongie-ah…” ucapanku terhenti. Takut untuk mengetahui kebenaran.
                “Ada proyek yang harus kulakukan, aku akan menjadi suami di WGM.” Aku sedikit lega. Setidaknya pernikahan yang dimaksudnya hanya sebuah reality show saja. Aku tersenyum. Menghembuskan napasku yang sempat tertahan.
                “Tapi hubungan ini berakhir.” Baru saja perasaan hangat menjalar tiba-tiba saja hembusan angin dari kutub selatan membuatku beku. Kembali kutatap wajahnya. Beradu pandang dengannya dan menelisik kesungguhan dari perkataannya yang baru saja terlontar.
                “Ya! Youngie-ah! Sekarang bukan waktunya untuk bercanda. Ishh~” Kucoba tertawa walaupun dipastikan akan sangat berbeda dengan apa yang disebut ‘tertawa’. Aku menyesap coklat hangatku. Kedua telapak tanganku kukipas-kipaskan ke arah wajahku.
                “Ani.”

00000


                “Hmm.. Mashita..” ujar Hyerim sembari menyantap kue beras pedasnya. Aku hanya menggelengkan kepala, geli dengan tingkahnya.
                “Kau ini jangan terlalu banyak makan pedas-pedas. Kau ingat saat di sekolah menengah atas dulu. Jangan sampai itu terjadi lagi.” Ia tertawa mendengar perkataanku.
                 “Bukankah saat itu Wooyoung langsung membawaku ke rumah sakit dan kau terus-terusan menangis, aish, kau sangat lucu, Hyejung. Hahahaha…” Mendengar nama itu, teringat kembali dengan tayangan televisi kemarin. Melihatnya membawa sebuah boneka beruang putih besar dari gadis itu dan tersenyum saat melihat gadis itu, sangat membuatku sakit. Sakit yang teramat dalam di hatiku.
                “Mianhe..” aku menoleh ke arah Hyerim. Kedua telapak tangannya saling mengait di atas meja. Matanya yang memohon membuatku menghela napas. Aku tahu ia sedang merasa menyesal telah mengatakan sesuatu yang berhunbungan dengan namja itu.
                “Anni.. Nan gwaenchana.. Ah, sepertinya itu lezat.” Aku mengambil sepotong kue beras dari mangkuknya.
                “Ya! Bukankah kau tidak bisa makan makanan yang terlalu pedas!” teriakannya membuatku tersedak. Tangannya dengan cepat memberikan segelas air putih dan kuteguk dengan segera. Aku hanya bisa memberikan senyuman tanpa dosa kepada Hyerim yang menatapku khawatir. Melihatku tertawa iapun juga tertawa. Tawa kami membaur menjadi satu. Bersama rasa sakit di hatiku yang kuharap cepat sembuh dan melupakannya.
                Kuharap ia akan menemukan kebahagiannya. Denganku ataupun tanpaku. Dan kuharap hubunganku dengannya tak berhenti, walaupun hanya sekedar hubungan persahabatan seperti dulu.



END

©Arakida. 2014


Bagaimana?? Adakah yang berhasil menyelesaikan cerita yang teramat panjang ini? Maafkan daku karena panjangnya ff ini. Ini juga diluar prediksi. Awalnya hanya sampai empat halaman saja tapi ternyata delapan halaman. Maaf juga kalau ceritanya mungkin membosankan dan mudah ditebak. Dan terakhir maaf kalau mungkin judulnya tidak sesuai dengan isinya..
                Dan terpenting, komentar dari pembaca sekalian.. hehehe…


Written only @ARAKIDA 



DON'T BE PLAGIARSM!!!!
DON'T COPY OR RE-PUBLISH IN ANOTHER SITE!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar