Anyeong
haseyo yeorobun.. Author gaje yang tiba-tiba menghilang ini kembali muncul
dengan fanfic yang berbeda dari sebelumnya. Dan pertama kalinya menggunakan
cast seorang namja tampan yang sedang hangat-hangatnya sejak awal 2014.
Siapakah dia??
Ide
untuk membuat cerita ini karena seorang teman yang menjadi penggemar berat dari
namja ini. Cerita ini sedikit menggambarkan perasaannya kepada namja ini. Sebenarnya
cerita ini sudah kuketik sejak penayangan perdana reality show ‘itu’. Tapi,
karena mood saya yang masih labil akhirnya baru di teruskan dan diselesaikan
hari Selasa 18 Februari. Ditengah waktu yang sempit, tapi aku mencoba
memanfaatkan sedikit untuk menyelesaikannya.
Dan cerita ini tidak bermaksud
menjelek-jelekkan seseorang, cerita ini hanya sebatas penyaluran hobi yang
bersifat menghibur. Tidak ada sangkut pautnya dengan pribadi cast yang dipakai.
Intinya ini adalah cerita fiksi yang tidak sama dengan kenyataannya. That’s real just a FanFiction.
Karena
sudah terlalu lama hiatus, pasti masih banyak kekurangan dalam karya ini. Mohon
komentar serta kritik yang membangun. Jika tidak berkenan membaca, ya berhenti
saja sampai di sini daripada nanti menyesal. Okeee, yang sudah siap, pasang
sabuk pengamannya. Siapkan obat sakit kepala. Hehehe…
Cekidot…
Happy and enjoy, guys! ^^
Title: Best Wishes You
Author: Muna Arakida aka HyeRim
Length: Oneshot
Genre: Angst, Friendship
Cast: Jang Wooyoung (2PM), Lee
Hyejung (OC)
Desclaimer: This story only my
imagine, just for fun. Don’t be plagiarism! Don’t bash! Happy and enjoy reading
^^
Udara
di luar masih melilit tubuhku, membuatku kaku oleh hawa musim dingin. Pepohonan
dekat jendela kamarku yang biasa kunikmati warna sejuknya kini hanya tersisa
ranting yang sangat ringkih tertindih butiran es. Sama seperti hatiku,
dipenuhioleh bongkahan es yang kini kehilangan cafein—terbang bersama
pemiliknya dan seorang gadis di sana.
Awalnya,
kukira itu hanya sebuah lelucon saat dirinya mendatangiku awal Desember lalu. Pertemuan
pertama setelah sekian lama terpisah karena kegiatannya yang terlampau banyak.
Pertemuan pertama yang kuharap akan mencairkan suasana sunyi tanpa celotehannya
sejak pertengkaran kecil kami beberapa minggu lalu. Namun, itu hanya ada dalam
angan yang lenyap seketika, terbawa kabut gelap yang tiba-tiba muncul.
“Ya! Youngie-ah! Sekarang bukan waktunya untuk
bercanda. Ishh~”
“Ani.”
Kulanjutkan
kembali mencoret-coret kertas yang kini nyaris tanpa sisa, hanya dipenuhi
tumpukan huruf serta angka. Pensil dengan gantungan gambar chibi karakternya
terus bergerak. Gerakan yang awalnya teratur semakin lama semakin cepat dan
berhenti. Kutatap gantungan pensilku. Kusentuh perlahan permukaannya dengan ibu
jari. Semakin kuusap semakin jelas sosoknya. Entah kenapa seperti ada desakan
dalam dadaku hingga membuat dadaku seperti terhimpit beban yang teramat besar.
Sebulir
airmata melesak cepat dari yang kuduga. Refleks tangan kananku mengusapnya
mencegah akan volume yang bertambah besar, tapi sia-sia. Hingga akhirnya aku
menyerah, membiarkan anakan sungai dipipiku yang semakin deras. Bahuku naik
turun tak berirama. Sesegukan yang memenuhi kamarku menjadi backsound suasana yang melandaku.
00000
“Annyeong, Hyejung-ah!” seseorang berteriak beberapa meter di depanku dengan
melambaikan tangannya.
“Ah,,
annyeong Hyerim-ah,” sapaku pada
gadis yang sudah sangat kukenal. Ia berlari kecil menghampiriku lalu
merangkulkan lengan kanannya pada bahuku. Ia tersenyum lebar, senyuman yang
dulu pernah kumiliki juga. Tiba-tiba bibir yang melengkung itu mengerucut.
Kedua alisnya juga bertaut. Kedua manik mata coklatnya menelisik wajahku,
terutama kedua mataku.
“Wae?” tanyaku.
“Ishh… Ige mwoya?” serangnya sembari
menunjuk bagian bawah mataku. Ah, apakah ini terlalu jelas? Padahal aku sudah
mengompresnya tadi malam.
“Arra.. Arra.. Keundae, haruskah kau
terus menangisinya. Jebal, Hyejung,
berpikir positif! Buang semua kemungkinan-kemungkinan yang sudah tercetak di
otak bodohmu itu! Ish, jinjja.. Kau
membuatku lapar. Kajja ke kantin!”
tangan kanannya menarik kuat tanganku. Terima kasih, Hyerim. Aku tahu kata-kata
kasarmu sangat berkebalikan dengan isi hatimu. Maaf membuatmu selalu
mencemaskanku.
Diperjalanan
menuju kantin Hyerim terus berceloteh tentang apapun, terutama hal-hal yang
tidak jelas dan tidak perlu dibahas. Aku terus menatap wajah cerianya walaupun
suhu rendah membuat seluruh tubuh kaku, tapi ia terus menunjukkan senyum
hangatnya yang mampu melelehkan kebekuan dalam hatiku.
Melihatnya
berusaha menampilkan wajah cerianya disertai celotehannya, membuatku kembali
terkenang dengan sosoknya yang berhasil membuat kantung mata hitam pekat.
Seperti kembali pada saat kami bertiga menghabiskan waktu senggang bersama di
sekolah menengah atas. Aku, Hyerim, dan dia.
00000
“Ya ya ya! Geumanhae! Ya!” lengannya yang
lebih besar dari punyaku mencoba menghalangi semburan deras dari selang air
yang kuarahkan padanya. Aku sangat senang mengganggunya apalagi menggodanya
yang sedang serius latihan menari di halaman rumahnya.
“Ha
ha ha.. Shireo!! Ini akan bagus untuk
tarianmu. Anggap saja kau sedang membuat MV-mu
di masa yang akan datang di tengah hujan. Wah, daebak! Membayangkannya saja
sudah membuatku berdebar, Yongie-ah..
Ha ha ha….” Semakin dirinya menhindariku semakin gencar aku memburunya.
Entahlah, rasanya seperti hal yang membahagiakan. Dalam pandanganku,
bunga-bunga di sekitarku bergoyang pelan dengan air yang jatuh di seluruh
kelopaknya. Bahkan, aku seperti melihat kupu-kupu biston yang mengerubungi kami
membentuk lingkaran.
Hap.
Dengan sigap dan akalnya yang ternyata lebih cerdik seperti biasa, ia berlari
menuju keran di pojok halaman, dekat pot besar berisi bunga matahari. Seketika
ada sedikit rasa kecewa yang membaur dengan senyumanku yang semakin mengecil.
Kini posisipun berbalik, ia menjulurkan lidahnya lalu berlari ke dalam rumah
meninggalkanku. Aku mendengus kesal. Berlari mengikuti langkahnya.
“Sudah
kukatakan, aku ini Jang Wooyoung, lelaki hebat dan cerdas, hahahaha… Ck, wajah
macam apa itu?” tangannya yang jahil mengacak keras rambutku. Belum puas sampai
disitu, ia menjawil hidungku yang kubalas dengan pukulan ringab dilengannya.
“Ara ara… Ish.. Memangnya kau tidak bisa
bercanda sebentar saja. Jangan terlalu serius dengan sesuatu, nanti wajahmu
lebih cepat tua,” cibirku sambil menangkap handuk yang dilemparkannya.
“Wajahku
akan seperti ini sampai ratusan tahun yang akan datang, tetap menjadi pangeran
tertampan di dunia,” suara sin arsis itu terdengar menjauh dariku. Kuhentikan
tanganku yang tengah menghanduki rambutku yang lembab. Mataku mencari arah
suara tadi.
“Memangnya
gumiho. Ish, jinjja”. Aku mendekatinya yang tengah duduk di kursi ruang
makan—meminum segelas air putih dingin. Kugeser kursi yang tepat berada di
depannya dan mengambil posisi duduk. Mencomot cookies dari dalam toples, mengacuhkannya yang kembali menyerangku
dengan kata-katanya.
“Na
na na na na … Aku tidak mendengar apapun, tidak mendengarmu….” Ujarku sambil
menutup kedua telinga dan menjauh darinya. Aku tertawa geli melihatnya
mengerucutkan bibirnya. Aku merasa senang karena telah memenangkan adu mulut
ini. Rasanya seperti ada ribuan kupu-kupu yang meledak keluar dari hatiku.
Sebenarnya
aku sangat tahu perkataannya tentang keseriusannya dalam latihan menari tadi.
Impiannya untuk menjadi international
dancer yang bisa merasakan panggung broadway pernah dikatakannya dulu. Saat
kami kanak-kanak ia selalu menari di manapun. Apalagi jika sekolah kami
mengadakan pensi, tak urung ia mempertunjukkan kebolehannya.
Kejuaraan
dalam kompetisi menari juga sering disabetnya. Bahkan bukti tersebut memenuhi
beberapa sudut kamar. Aku yang lebih suka melihatnya menari daripada mengikuti
jejaknya mulai merasakan suatu perasaan aneh tetapi nyaman tentangnya.
Terlalu
sering bersamanya sejak memasuki taman kanak-kanak semakin membuatku merasa
dialah duniaku. Bagiku, dia seperti malaikatku yang selalu menolongku dalam
kesusahan. Pernah juga ia pertaruhkan nyawanya demi menolongku keluar dari
kobaran api di sebuah rumah tua. Saat itu usianya baru menginjak lima tahun.
Semakin
sering bersama akupun tak bisa lepas dari sebuah ikatan misterius yang
membuatku selalu ingin bersamanya. Dan akupun nekat mengikutinya sekolah di
Seoul. Umurku yang baru lima belas tahun dan jarang bepergian membuat orangtua
kami sepakat menyewa apartemen berdampingan. Seperti biasanya, aku selalu
bersamanya. Hingga membuatku tak bisa lagi membendung rasa sukaku padanya. Tak
bisa lagi menyembunyikan rasaku.
Malam
itu, salju pertama turun di saat aku baru pulang dari kerja parttime-ku. Sejak pagi aku sudah
berniat untuk mengungkapkan rasa sukaku padanya. Karena itulah langkahku
berbelok memasuki sebuah kafe dekat dari apartemen, memintanya untuk bertemu di
sana.
“Bukankah
ini terlalu dingin. Kenapa tidak mengatakannya di apartemen saja?” tanyanya
ketika baru masuk kafe dan menghampiriku yang duduk manis di pojok ruangan.
Tangannya yang dilapisi sarung tangan di gesek-gesekan, mencari kehangatan. Aku
hanya tersenyum menanggapinya. Melihat wajahnya yang memerah membuatku bahagia.
Sepertinya ia harus berusaha keras melawan salju untuk mengabulkan permintaanku
ini.
Seorang
waiter wanita menghampiri meja kami. Melakukan pekerjaannya untuk menanyakan
pesanan pelanggan. Aku memilih coklat panas, sedangkan dia memesan cappuccino.
“Youngie-ah..” Ia menoleh ke arahku,
meninggalkan kesibukannya dari ponselnya. Menatapku dengan tatapan yang tak
biasa.
“Waeyo?” nada suaranya terdengar serius.
Ah, rupanya ia mengerti tentang kegugupanku. Wajahnya yang semula kocak kini
seperti beku di malam itu.
“Na neo joahae..” Aku menunduk. Tak
berani mengangkat wajahku. Kedua tanganku saling mengait, menggerakkan jemariku
cepat. Dan kurasakan keringat dingin membasahi wajah serta telapak tanganku.
Berbeda dengan pipiku yang kian memanas.
00000
Sejak
peristiwa di malam salju pertama turun itu, aku resmi menjadi yeochingu, dan
dia resmi menjadi namchingu-ku. Rasanya seluruh jiwaku hangat, nyaman, dan
tenang. Senyumku tak pernah lepas dan jantungku selalu berdegup kencang,
memikirkannya, membayangkannya, bahkan bersamanya.
Awalnya,
sikapnya padaku kaku, itu diluar dugaanku. Tapi semakin hari semakin biasa,
seperti sebelum ikatan ini terjalin. Aku masih ingat sampai sekarang saat
merayakan hari jadi kami yang kedua, ia menyiapkan candle light dinner untukku. Hanya saja, saat situasi yang
seharusnya romantis berubah menjadi kekakuan. Aku hanya bisa tersenyum melihatnya
yang salah tingkah.
Walaupun ia tak bisa romantis,
setidaknya ia mau berusaha untuk mengembalikan situasi nyaman yang sempat
hilang. Ia duduk di sebuah bangku. Meletakkan jemari-jemarinya pada tuts piano.
Dengan lincah ia memainkan sebuah lagu—yang awalnya aku tidak tahu tentang lagu
itu.
Setelah menekan tuts terakhir, ia
berdiri dan menghampiriku. Menawarkan telapak tangan kanannya padaku, aku pun
meletakkan telapak tangan kiriku di atasnya—yang langsung digenggamnya. Ia
mengajakku duduk di sampingnya—di depan piano itu. Ia mengulangi lagi
permainannya—yang lagi-lagi aku belum mengetahui lagu apa yang dimainkannya
itu.
Jemarinya yang indah beradu dengan
permukaan tuts sangat serasi. Kepalanya tak henti-hentinya menoleh padaku,
memberikan senyuman terindahnya. Hatiku hangat, pacuan jantungku bertambah.
Tak sadar permainannya berakhir. Aku
yang sedari tadi tak berhenti menatapnya beradu pandang dengannya, akupun
gugup, hanya bisa menundukkan kepalaku.
“Lagu ini kubuat untukmu, judulnya This is
Love,” kalimat pertama setelah permainan indahnya. Aku tersipu malu. Masih menundukkan kepala. Remasan jemariku
semakin menguat intensitasnya. Tiba-tiba tangannya menggenggam tanganku.
Mencoba meredakan kegugupanku.
“Hyejung-ah, na neo saranghae,” pernyataannya itu sukses membuat linangan
air mata melesak dari sudut mataku. Jemarinya dengan lembut menghapus setiap
buliran air mataku. Senyumnya yang hangat membuatku nyaman. Kini giliran tangan
kananku yang menggenggamnya.
“Nado
saranghae.”
00000
Sudah dua hari dia tak
menghubungiku. Bahkan pesan singkat yang sudah entah keberapa kalinya tetap tak
juga dibalasnya. Apalagi sekedar menjawab panggilan teleponku. Aku tahu aku
yang salah. Berusaha bersikap manis tetapi terlampau kekanak-kanakan.
Malam itu, malam di mana salju pertama
turun yang kami nikmati kali ketujuh sejak peristiwa pengakuanku. Seperti
biasa, kami menghabiskan waktu di kafe yang menjadi saksi bisu cinta kami. Ide
jahilku datang begitu saja. Aku mengambil ponselnya yang tergeletak pasrah di
atas meja ketika ia pergi ke toilet. Menekan tombol power hingga tampilan layar
mati.
Di saat ia kembali aku mencoba
mengalihkan perhatiannya agar tak ingat dengan ponselnya yang sudah kuletakkan
seperti posisi semula. Seperti yang kuharap, ia sama sekali tak menyentuh
ponselnya. Aku tertawa penuh kemenangan di dalam hati.
Oh, ayolah, aku tahu ini sangat
kekanak-kanakan dan egois. Aku hanya ingin menghabiskan sedikit waktu yang kami
punya untuk bersama. Sejak ia memutuskan mengikuti trainee beberapa tahun lalu ia berhasil bergabung dengan grup boyband yang sangat terkenal dengan
akrobatik dance-nya. Dan sejak itu
pula intensitas kebersamaan kami semakin berkurang, bahkan nyaris hilang jika
saja aku tak mencoba mengunjunginya di sela-sela waktu istirahatnya.
“Chagi-ya..”
ia menoleh ke arahku. Aku mengerucutkan bibirku. Sebal dengannya karena
mengacuhkanku dan lebih memilih berkencan dengan ipad-nya. Hanya sekilas, lalu kembali menyibukkan diri menggerakkan
jemarinya di atas permukaan benda yang berhasil membuatku cemburu.
“Chagi-ya…”
rajukku sambil meletakkan kedua tangannku di atas meja, menopang dagu. Kembali
ia menoleh padaku.
“Mwo?”
hanya mengeluarkan kata itu dan kembali berkencan dengan benda itu. Aku semakin
cemburu. Padahal ini adalah waktu yang paling berharga di tengah kesibukkannya.
Dan aku sudah bersusah payah mencari waktu terluangnya yang termasuk sibuk.
“Ya!
Yongie-ah!” teriakku. Akhirnya kekesalanku yang sudah di ubun-ubun meledak
begitu saja. Tanganku mengepal di atas meja setelah menggebraknya. Terdengar
beberapa bisikan yang kuduga dari pengunjung kafe. Dan usahaku untuk merampas kembali
perhatiannya dari ipad bodoh itu tak
sia-sia.
Ia menatapku. Menatap dengan tatapan
yang serius, sangat serius. Membuatku tak bisa menyembunyika senyumku. Akupun
tertawa kecil melihatnya. Tapi, melihatnya yang masih memasang wajah dingin itu
membuatku beku seketika.
“Geumanhae.
Berhentilah bertingkah seperti anak kecil.” Aku hanya bisa menelan ludah tanpa
berani membalas tatapannya. Bahkan yang kurasakan, aku seperti menelan
bongkahan es yang besar dan keras.
Beberapa menit berlalu. Tanpa
sepatah katapun yang keluar darinya. Aku yang sejak tadi ingin megeluarkan
lelucon untuk mengembalikan atmosfir hangat ragu untuk melakukannya.
Salah-salah justru akan memperbesar gunung es di antara kami berdua.
Dari ujung buku yang sedang
kubaca—sekedar berpura-pura—kulihat ia menaruh ipad bodoh itu. Ada sedikit rasa lega dalam hatiku. Dan juga senang
tentunya. Sepertinya ini waktu yang tepat untuk menghangatkan situasi.
“Hyejung-ah..” kudengar ia memanggilku. Aku tersenyum. Sepertinya ia kembali
menjadi Wooyoung yang hangat. Dengan senang hati kuangkat kepalaku dan
memandangnya, memasang senyum terindahku.
“Ne?”
“Igeo
mwoya?” tanyanya. Dugaanku salah besar. Sangat berbeda seratus delapan
puluh derajat. Matanya seakan bisa mengeluarkan laser yang bisa melenyapkanku
seketika itu juga. Aku kembali menelan ludah yang entah sudah keberapa kalinya.
Arah pandangku menyusuri lengan
kanannya. Dan berhenti di satu titik. Titik di mana bisa membuatku seolah-olah
terlempar jauh ke Samudera Hindia.
Jemarinya dengan cepat menyentuh
permukaan benda itu. Terdengar juga nada power dari benda itu. Matanya kembali
menatap tajam kepadaku lalu kembali mengarah ke benda itu.
“Yeoboseyo,
Hyung. Ne, mianheyo. Ne, araseoyo.” Iapun memutuskan panggilan teleponnya.
Bersama dengan berakhirnya panggilan itu, berakhir pula kebersamaan kami di
malam itu. Ia pergi dengan tergesa begitu saja. Tanpa menoleh sedikitpun ke
arahku. Airmataku terjun bebas.
00000
“Hyejung-ah. Kurasa ini menarik. Seorang pemadam kebakaran yang jatuh cinta
dengan seorang dokter. Hmmm…” ujarnya seperti menganalis apa yang tertera di cover kaset. Aku hanya memandangnya
tanpa memberi jawaban. Langkahku bergerak ke rak musik indie. Tiba-tiba rasa sakit di dadaku muncul, kembali mengingat
tentangnya.
Akupun memilih meninggalkan rak itu.
Mencoba memulihkan rasa sakit yang kudera. Berjalan melewati beberapa rak. Tapi
mataku terlanjur melihatnya. Melihatnya bersama beberapa pria di cover itu dengan tulisan ‘2PM’ di
atasnya. Langkahku semakin memburu. Dengan sekali gerakan, kaset itu sudah
berada di tanganku.
“Hyejung-ah….” Aku tak mengalihkan pandanganku. Tetap memandang potret
seseorang yang sangat kurindukan.
“Gwaenchanayo..”
kataku ketika ia akan mengeluarkan suaranya. Tangannya menepuk-nepuk bahuku. “Nan gwaenchana.
Kajja!” potret itupun kutinggalkan di
rak itu. Walaupun aku tak sanggup untuk meninggalkannya.
00000
Sejak sore tadi aku terus-terusan
sibuk mengacak-acak isi lemari. Mencari pakaian yang indah untuk pertemuan
penting nanti. Tapi dari beberapa koleksi yang kupunya tidak ada satupun yang
menarik. Bergegas kuambil coat coklat yang tergeletak di atas
ranjang dan mengambil tas tangan beserta kunci mobil. Tak butuh waktu lama
akupun memasuki kawasan Dongdaemun. Turun dari mobil dan memasuki salah satu
toko.
Beberapa baju sudah kucoba. Tapi
tetap saja belum ada yang cocok untukku. Dan kuyakin beberapa pelayan wanita
yang melayaniku menggelengkan kepalanya dan tampak lelah menghadapiku.
Langkahku membawaku untuk
mengelilingi setiap sudut toko. Mataku berhenti di satu titik. Dress biru muda
simple dengan pita di bagian pingganggnya berhasil menyedot perhatianku. Segera
kuambil dress tersebut dan membawanya ke ruang pas.
Aku tersenyum senang, sudah dua
kantong belanjaan yang kutenteng menuju mobil. Kurasa dress dan sepatu yang
warnanya sepadan sudah cukup. Akupun mengarahkan laju mobil ke apartemen.
Waktu yang kutunggu-tunggupun tiba.
Aku memasuki kafe langgananku. Berjalan ke sudut kafe yang sudah familiar.
Seseorang sudah menunggu di sana. Padahal kukira ini belum sampai di waktu
janjian kami.
Aku berjalan dengan senyum yang
mengembang. Tapi, setelah kufokuskan pandanganku, dia tak sendiri di sana. Ada
dua orang pria berjas rapi. Akupun membelokkan langkahku, mengambil duduk di
meja dekat mereka.
“Ah, agassi.. Woo…”
“Sst.. Anni.. Jangan beritahu dia.”
Waiter
itu, Nara, yang sudah mengenalku mengangguk mengerti. Iapun segera pergi
setelah kukatakan pesananku. Masih sepuluh menit lagi sampai waktu janjian
kami. Masih bisa menyesap coklat hangat sebelum bertemu dengannya—untuk
menenangkan pikiranku.
“Kamsahamnida..”
suara itu, suara yang sangat kukenal. Kulihat bayangannya yang membungkuk ke
arah dua orang di depannya. Dua orang itu pergi melewatiku dan menghilang
dibalik pintu. Mataku melihat ke arah jam tangan, masih lima menit lagi.
Kuputuskan untuk menunda mendatanginya.
Lima
menit itu berlalu begitu cepat. Membuat kerja jantungku semakin keras. Buliran
hasil sekresi melewati dahiku, segera kukeringkan dengan tisu dan membenarkan
dandananku.
Dengan
langkah pelan, aku berjalan ke arahnya. Tepat dua langkah dari meja, ia
menolehkan kepalanya ke arahku. Masih sama seperti terakhir kali bertemu.
Bedanya, tatapan tajamnya hanya beberapa persen saja.
Kupikir
ia sudah melupakan kejadian itu, tapi sepertinya belum. Ia tak banyak bicara.
Hanya berkata seperlunya, menjawab pertanyaan Nara tentang pesanannya dan
menjawab pertanyaanku tentang kabarnya.
“Aku
akan menikah.” Refleks mataku menatapnya. Memastikan bahwa itu keluar dari
bibirnya.
“Yeongie-ah…”
ucapanku terhenti. Takut untuk mengetahui kebenaran.
“Ada
proyek yang harus kulakukan, aku akan menjadi suami di WGM.” Aku sedikit lega.
Setidaknya pernikahan yang dimaksudnya hanya sebuah reality show saja. Aku
tersenyum. Menghembuskan napasku yang sempat tertahan.
“Tapi
hubungan ini berakhir.” Baru saja perasaan hangat menjalar tiba-tiba saja
hembusan angin dari kutub selatan membuatku beku. Kembali kutatap wajahnya.
Beradu pandang dengannya dan menelisik kesungguhan dari perkataannya yang baru
saja terlontar.
“Ya! Youngie-ah!
Sekarang bukan waktunya untuk bercanda. Ishh~” Kucoba tertawa
walaupun dipastikan akan sangat berbeda dengan apa yang disebut ‘tertawa’. Aku
menyesap coklat hangatku. Kedua telapak tanganku kukipas-kipaskan ke arah
wajahku.
“Ani.”
00000
“Hmm..
Mashita..” ujar Hyerim sembari menyantap kue beras pedasnya. Aku hanya
menggelengkan kepala, geli dengan tingkahnya.
“Kau
ini jangan terlalu banyak makan pedas-pedas. Kau ingat saat di sekolah menengah
atas dulu. Jangan sampai itu terjadi lagi.” Ia tertawa mendengar perkataanku.
“Bukankah saat itu Wooyoung langsung membawaku
ke rumah sakit dan kau terus-terusan menangis, aish, kau sangat lucu, Hyejung.
Hahahaha…” Mendengar nama itu, teringat kembali dengan tayangan televisi
kemarin. Melihatnya membawa sebuah boneka beruang putih besar dari gadis itu
dan tersenyum saat melihat gadis itu, sangat membuatku sakit. Sakit yang
teramat dalam di hatiku.
“Mianhe..”
aku menoleh ke arah Hyerim. Kedua telapak tangannya saling mengait di atas
meja. Matanya yang memohon membuatku menghela napas. Aku tahu ia sedang merasa
menyesal telah mengatakan sesuatu yang berhunbungan dengan namja itu.
“Anni..
Nan gwaenchana.. Ah, sepertinya itu lezat.” Aku mengambil sepotong kue beras
dari mangkuknya.
“Ya!
Bukankah kau tidak bisa makan makanan yang terlalu pedas!” teriakannya
membuatku tersedak. Tangannya dengan cepat memberikan segelas air putih dan
kuteguk dengan segera. Aku hanya bisa memberikan senyuman tanpa dosa kepada
Hyerim yang menatapku khawatir. Melihatku tertawa iapun juga tertawa. Tawa kami
membaur menjadi satu. Bersama rasa sakit di hatiku yang kuharap cepat sembuh
dan melupakannya.
Kuharap
ia akan menemukan kebahagiannya. Denganku ataupun tanpaku. Dan kuharap
hubunganku dengannya tak berhenti, walaupun hanya sekedar hubungan persahabatan
seperti dulu.
END
©Arakida.
2014
Bagaimana?? Adakah yang berhasil
menyelesaikan cerita yang teramat panjang ini? Maafkan daku karena panjangnya
ff ini. Ini juga diluar prediksi. Awalnya hanya sampai empat halaman saja tapi
ternyata delapan halaman. Maaf juga kalau ceritanya mungkin membosankan dan
mudah ditebak. Dan terakhir maaf kalau mungkin judulnya tidak sesuai dengan
isinya..
Dan
terpenting, komentar dari pembaca sekalian.. hehehe…
Written only @ARAKIDA
DON'T BE PLAGIARSM!!!!
DON'T COPY OR RE-PUBLISH IN ANOTHER SITE!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar