Senin, 14 Oktober 2013

[FANFICTION: SHINee, F(x)] The End Arrow - Chapter 1

Anyeong haseyo chingudeul......
Aku kembali menebarkan pesona fanfic abal-abalku (?)
Sebenarnya fanfic ini req dari seorang teman yang identitasnya disamarkan karena takut terkenal, haha..
Langsung aja nyok kite goyang cecar rame-rame (???) Keep smile :D




Title                 : The End Arrow
Author             : Muna Arakida aka HyeRim
Rate                 : T
Length             : Chaptered
Genre              : Friendship, School’s life
Cast                 : Choi MinHo [SHINee’s member]
                          Choi JinRi [F(x)’s member]
                          Lee HyunWoo
                          Lee TaeMin (SHINee’s member)
Note                : This real my imagination but the idea from my friend. And this FanFic is his request. Happy and enjoy reading^^






==PRESENT==

            Seorang namja tengah memejamkan kelopak matanya. Lingkaran menghitam juga tampak menghiasi di sekitar daerah yang terpejam itu. Ia berbaring di atas bangku panjang di sekitar taman dekat apartement-nya. Dia tidak sedang menyusuri dunia imajinasi dalam bunga tidurnya. Ia hanya ingin mengistirahatkan sebagian saraf dari kerja rodi-nya yang akhir-akhir ini membabi buta sistem imun-nya.

            Bayangan sosok yeoja dengan dress selutut berwarna hijau toska juga tengah bergelayut dalam ruang pikirnya. Baru setengah jam yang lalu ia bertemu dengan seseorang yang dulu pernah terbelenggu di hatinya. Dulu, sebelum ia memutuskan neurit cintanya. Sebelum impuls-impuls kasihnya terhenti pada satu rangkaian hidupnya.

            Rambut panjang yang tergerai indah melambai ke arahnya. Begitu juga senyum yang menambah elok parasnya. Ia ingat betul semua itu. Sepasang manik coklat itu juga masih sangat membekas dalam kamus ingatannya. Hanya ada sedikit perbedaan antara dirinya dua tahun yang lalu. Pancaran dari tatapannya tidak penuh cinta dari yang diperolehnya dulu. Terkesan biasa saja. Tak ada yang se-spesial saat ia menyapanya setiap kali bertemu, dulu.

            Namja ini juga tak menyangkal jika ia masih merasakan getaran aneh di dadanya. Napasnya yang tiba-tiba meningkat seakan sulit dibedakan dengan orang yang sedang terserang asma. Hingga ia mencoba mengontrol kadar oksigen yang hilir mudik melewati alveolus dalam tubuhnya. Akalnya juga mencoba untuk menerima kenyataan yang pahit. Pahit untuk menyadari kenyataan. Layaknya obat yang sering ia minum akhir-akhir ini. Meskipun obat tersebut pahit, tapi terus melewati kerongkongannya pula.

            Dering ponsel dari saku jins hitamnya mengharuskan sepasang kelopak matanya terbuka. Tangan kanannya merogoh benda tipis putih itu. Layaknya orang yang menerima telpon, ia menempelkan layar screen yang menyala pada daun telinga kanannya.

            Yeoboseyo.. Ne, nan Choi MinHo. Nuguseyo? Arrasoyo, chakhamanyo.” [Halo.. Ya, saya Choi MinHo. Ini siapa? Saya mengerti, tolong tunggu.]

Setelah percakapan singkat itu, Ia bergegas pergi ke suatu tempat. Langkah cepat yang terkesan terburu-buru dari sepasang sepatu kets pearl blue-nya menuju sebuah halte terdekat dari taman itu. Matanya menoleh ke arah datangnya bus dengan tak sabar. Kakinya yang jenjang juga mengikuti irama gelisahnya.

Tak lama datanglah alat transportasi umum yang sejak beberapa menit lalu ditunggunya. Iapun menaikinya dengan tergesa. Tangan kanannya yang setengah mengepal berada di depan mulut dan hidungnya. Hasil ekskresi akibat aktivitas dadakannya masih mengalir melewati pelipisnya yang juga penuh peluh. Kembali matanya yang tak henti-hentinya menengok ke arah benda yang melingkar manis di tangan kirinya. 14:47, itulah yang tertera pada benda hitam itu.

Saat benda besar berpenumpang itu berhenti tepat di halte dekat tempat tujuannya, ia keluar dari pintu masih dengan tergesa-gesa. Langkahnya yang tadi hanya dua kali lipat langkah normal telah berganti dengan lari kecil. Saat pintu depan gedung besar dengan warna dominan putih itu ia masuki, bau obat-obatan yang menyengat langsung menyapa indera penciumannya.

Chogiyo, Eodi Choi JinRi-ssi saat ini?” suara terengahnya sempat keluar saat ia menanyakan keberadaan yeoja yang mengganggu aktifitas otaknya pada seorang perawat di lobi rumah sakit.
Chakhamanyo,” Seorang yeoja berpakaian serba putih itu mencari apa yang dibutuhkan MinHo pada layar komputer di depannya. “Choi JinRi-ssi, berada di kamar 204.” Setelah mendengar kalimat terakhir dari Jang NaRa, nama yang terpampang pada nametag-nya, MinHo kembali berlari kecil ke arah koridor sebelah barat.

Kakinya berhenti tepat di depan pintu silver dengan angka 204 menempel dibagian atasnya. Pandangannya tertuju pada sosok yang tengah terbaring dengan beberapa slang khas rumah sakit saat ia memasuki ruangan bernuansa krem itu. Matanya yang memerah tak sanggup melihat kondisi yeoja yang sangat dicintainya. Ia jatuh terduduk di atas sebuah kursi dekat ranjang.

Wajah yang biasanya penuh dengan senyuman dari bibir ranum itu kini sama sekali tak nampak dari HaKyung. Dress selutut yang biasanya melekat indah pada lekuk tubuhnya telah tergantikan oleh pakaian biru bergaris putih. Pakaian yang sama seperti yang dilihat MinHo tadi ketika ia melewati beberapa pasien di koridor menuju tempatnya kini. Pakaian itu juga nampak kebesaran pada tubuh yeoja yang terbaring lemah itu.

---^^---

“Aish.. Neo! Bagaimana bisa kau ingin keluar dari sini sedangkan kau sendiri tidak mau makan?! Itu tidak akan menambah kemajuan kondisimu! Makanlah dulu!” suara berat khas namja terdengar di sudut taman dekat gedung serba putih itu. Tangan kirinya memegang nampan berisi makanan sedangkan tangan kanannya sedang berusaha memasukan sesuap nasi ke arah mulut seorang yeoja berpakaian biru bergaris putih.

“Yak, MinHo~ah! Kau ini sedang menyuapi seorang yeoja cantik sepertiku atau Choco?!!” teriak yeoja yang tengah duduk di atas kursi roda itu kesal. Choco adalah kucing berbulu coklat gelap milik JinRi. Yeoja yang tengah mengerucutkan bibirnya itu orang yang sama dengan yeoja yang dicemasi MinHo seminggu terakhir ini, Choi JinRi. Yeoja yang selama ini memenuhi ruang pikirnya bahkan hatinya.

Geurae, kalau kau tidak mau disamakan dengan Choco maka cepat habiskan makanan ini. Atau acara melihat sunset di Sungai Han pertengahan musim semi nanti dibatalkan,” mendengar kalimat itu sontak JinRi melahap makanan yang tadi ditolaknya. Walaupun setelah itu gerutuan tidak jelas keluar dari mulutnya yang masih penuh dengan makanan yang sedang diproses secara kimiawi dan mekanis dalam mulutnya.

MinHo hanya tertawa geli melihat tingkah kekanakan JinRi. Ia merindukan saat-saat seperti ini. Ia seperti melihat kembali sosoknya dengan JinRi saat masih berada ditingkat dua menengah pertama mereka. Saat itu, JinRi juga memintanya pergi ke tepi Sungai Han untuk menikmati waktu mereka melihat mentari yang sedang menuju peraduannya. MinHo juga masih ingat bagaimana tingkah JinRi yang mampu mengukir senyumannya saat meminta MinHo menyetujui permintaan yeoja yang kini tengah asyik memandang mawar merah—yang memenuhi sebagian sudut taman itu.

Tak terasa sudah seminggu penuh ia menemani yeoja yang kini telah kembali dengan senyum cerianya. Tidak seperti sosok yang dilihatnya saat kali pertama ia memasuki ruang 204 saat itu. Walaupun JinRi masih belum diperbolehkan turun dari kursi roda-nya, setidaknya ia telah menemukan keceriaan yang selama empat hari terenggut dari paras cantik JinRi.

Walaupun MinHo harus membagi waktunya untuk belajar di sekolah pagi harinya dan malam hari untuk kerja part-time-nya, ia masih setia menemani JinRi. Baginya, waktu yang dihabiskannya untuk memastikan bahwa yeoja yang dicintanya itu baik-baik saja sangat berharga baginya. Saat ia mencoba memfokuskan pikirannya untuk menyerap ilmu yang diberikan para seonsaengnim tak luput sedikit ruang ia bagi untuk memikirkan yeoja itu.

Memikirkannya, membayangkannya, mengetahui bahwa JinRi masih memiliki senyuman yang mampu memikat setiap orang yang ditemuinya itu seperti glikogen saat ia mengharuskan tubuhnya untuk terus berlari cepat tanpa henti secara mendadak. Dan menurutnya, ia adalah selubung myelin yang akan terus melindungi JinRi, neurit yang penuh cinta.

Yeoboseyo..” kegiatan mengamati setiap mimik wajah JinRi terhenti saat ponselnya berdering. Pemilik suara yang sengaja mengecilkan volumenya itu terus menatap JinRi yang masih asyik dengan mawar-mawar di sekitarnya.

JinRi~ah. Mianhe. Aku harus pergi sekarang. Aku janji besok aku akan menemanimu.” Sebenarnya MinHo masih enggan meninggalkan JinRi sendirian meratapi kebosanannya di dalam ruangan penuh warna krem itu. Tapi, jika bukan suatu hal yang penting, ia tidak akan merelakan JinRi menikmati waktunya sendirian. JinRi hanya menganggukan kepalanya pelan. Ia juga enggan berpisah dengan MinHo. Tapi ia tak mau egois. Pandangannya masih terarah ke namja yang berjalan menjauhinya hingga punggungnya yang menghilang di persimpangan.

---^^---

Namja yang tengah asyik bermain dengan benda hitam itu tersenyum saat seorang namja dengan t-shirt putih mendekatinya. Namun, ia kembali mengurusi kegiatannya yang sempat tertunda beberapa detik itu. Ia mengambil gambar apa saja dengan kameranya. Entah itu orang yang tengah menikmati makannya di kedai ramyeon di seberang jalan. Maupun sepasang kekasih dengan pakaian couple mereka yang tengah berbagi es krim coklat tanpa terganggu dengan suasana jalanan Seoul yang selalu sibuk.

“Ya! Tadi kau menghubungiku agar cepat datang kemari. Tapi kenapa kau malah mengacuhkan kedatanganku, huh?! Kau mempermainkanku?” Namja yang baru datang tadi membombardir dengan kata-katanya yang lepas landas dari mulutnya.
“Tenanglah, hyeong. Tunggu sebentar. Aku harus mengambil objek ini,” kata namja yang masih menggeluti kameranya. Setelah ia menemukan angle yang menurutnya pas, ia tak melepaskan kesempatan itu. Iapun puas dengan hasil jepretannya.

Namja yang lebih tua umurnyapun hanya bisa mendesah kesal. Ia mengambil sebotol orange juice dari tas selempang yang tergeletak di samping kanan namja yang masih asyik dengan kegiatannya. Meneguknya hingga meninggalkan seperempat botol dari isinya. Keringat masih mengucur dari dahinya. Napasnyapun masih terengah-engah.

Hyeong, sepertinya aku menyukai JinRi-ssi .” Kalimat sederhana itu meluncur dari bibir namja yang masih melihat hasil jepretannya. Sedangkan yang menjadi lawan bicaranya menghentikan kegiatannya saat mendengar sebuah kalimat dengan penekanan halus itu. Dan ia bahkan merasa kerja sarafnya mendadak terhenti untuk sepersekian detik.

Namja dengan T-shirt putih penuh peluh itu hanya menundukkan wajahnya. Jari-jari tangan kanannya memutar tutup botol hingga benda itu tertutup rapat dan mengembalikannya ke tempat semula. Ia tak menyangka bahwa sahabatnya akan mengatakan perasaannya padanya. Perasaan yang sama-sama dirasakan olehnya. Perasaan yang masih tersimpan rapi di dalam sebuah kotak dengan gembok cinta dihatinya. Namja itu MinHo.

Neo sigaghae?” [Kamu serius?] MinHo masih berharap jawaban ‘tidak’ yang keluar dari bibir sahabatnya itu. Kerja jantungnya semakin cepat ketika ia berharap sesuatu yang hanya kemungkinan kecil terjadi.
Nan sigaghae. Jeongmal sigaghae.” [Aku serius. Sangat serius.] Seakan gemuruh disertai petir yang menyambar. Kerja jantungnya yang diluar batas normal mendadak ingin berhenti detik itu. Detik di mana kalimat yang tersirat kesungguhan di dalamnya meluncur mulus dari bibir pemiliknya.
“Ah, TaeMin~ah mari kita makan ramyeon. Aku sudah sangat lapar sejak tadi. Kajja!”

Dan di sinilah mereka berdua sekarang. Duduk di kursi panjang di dalam tenda di pinggir jalan. Semangkuk besar ramyeon yang dipesan MinHo. Sedangkan TaeMin hanya memesan ukuran normal seperti biasanya. Ia masih heran dengan tingkah hyeong-nya. Tidak seperti biasanya MinHo memesan dengan porsi jumbo seperti sekarang. Apalagi ia meminta agar ramyeon pesanannya sangat pedas.

Padahal, MinHo sendiri tidak terlalu suka dengan makanan yang terlalu pedas di lidahnya. Ia lebih suka tidak terlalu pedas untuk ramyeon-nya. Tak heran jika TaeMin terperangah melihat MinHo melahapnya dengan cepat. Bahkan ia melupakan suhu panas dari makanan berkuah merah itu. Raut wajah TaeMin sangat jelas urat kekhawatirannya. Ia sendiri hanya memakan sedikit dengan tempo lambat sambil terus memandang ke arah hyeong-nya.

Udara Seoul terasa sangat menyengat bagi MinHo. Ditambah hawa panas dari relungnya. Juga mesin-mesin di otaknya yang terlalu memaksakan diri. Memaksakan untuk tidak memikirkan kalimat yang didengarnya dari TaeMin sebelum singgah ke kedai ini. Dan sepertinya, perutnyapun juga mulai memanas.

---^^---

~TBC~

Mianhe kalau masih ada typos
Give me some comment pls ^^
.
.
WRITTEN only ARAKIDA BLING ^^ 
GO AWAY PLAGIARISM!!!!!!

2 komentar:

  1. mian baru komen sekarang. huhu

    ffnya kereeenn.
    jadi semacam flashback ttby lagi kkk
    tapi ditambah taemin hehe

    cinta segi 4 ato segi 3 nih? wkwk

    next part ditunggu ;)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Uhuy, komen lagi \(^,^)/
      gomawo udah brsedia komen, maf kalo link nya ganggu *bow
      flashback ttby? Haha, bener si, tp yg jd inspirasi mlh si hana (bener ga ya, lupa, yg ska ngjar taejoon) sama sang ketua, hehe..
      Spt yg trtulis diatas, ini req tmenku yg crhat ttg (mungkin) kisah cintanya, dy ga ngaku soalnya, hoho
      next partnya udh jd, tggl d publish, smga brkenan mnunggu, gomawo sblmnya.
      Oya, ff unn jg ditunggu, hehe ^,^

      Hapus