Jumat, 11 Oktober 2013

[FANFICTION: CN BLUE] Memories



Anyeong haseyo.. Mianhe baru balik lagi setelah sekian lama berhibernasi (?)
FF ini sebenarnya udah lama banget membeku di folderku, pengin banget di share tapi karena baru bisa sekarang, ya akhirnya baru bisa di share....
Mian kalo masih ada typos...
Happy reading all ^^


Tittle                :           Memories
Author             :           Muna Arakida aka HyeRim
Genre              :           Friendship, Angst
Rate                 :           T
Length             :           OneShot
Cast                 :           Yoon Na Ri (OCs or YOU)
                                    Jung Yong Hwa (CN.Blue)
Desclimer        :           This story is my imagination. That isn’t real. Don’t bashing and go away plagiator! Happy and Enjoy reading!^^







^^PRESENT^^
___©ARAKIDA. NOVEMBER 2012-JULI 2013. ALL RIGHT RESERVED___


Pantai indah itu, kebersamaan itu, kenangan itu…
.
.

            Di sinilah dia. Yeoja berbalut t-shirt pearl teal tengah menikmati sunset indah di sungai Han dari balkon kamarnya di lantai dua. Manik coklatnya menatap kosong lurus ke depan. Menjelajahi guratan-guratan jingga yang semakin tebal warnanya. Seakan tenggelam ke dalam setiap garis kemerahan itu.
            Masih seperti saat ia menyelami pikirannya yang seperti coretan-coretan penuh tak beraturan. Bayangan sosok namja yang sudah lama mengganggu penuh kerja otaknya. Namja yang dulu saat bersamanya membuat hatinya meletup seperti popcorn.
            Juga suatu memori yang membuatnya harus merasakan sesak hingga kini. Ingatan yang bagai potongan-potongan film itu membiusnya dalam kesan kelam yang teramat dalam. Sudut matanya pun tak tahan dengan buliran yang sedari tadi dibendungnya. Buliran kesedihan dan rindu akan sosok namja yang masih menyelipkan rasa cintanya dalam setiap sisi relungnya.
            Ia tak pernah meminta untuk mengingat kenangan yang membuatnya terus terbelenggu dalam batas dimensi yang berbeda dari sebelumnya. Dimensi cintanya yang seakan menginterupsinya. Ia juga sudah lelah mengeluarkan benda bening dari pelupuk matanya. Ia juga ingin menjalani hidup yang tak seperti zona hitam putih-nya.
            Jika ia bisa memilih, ia ingin pergi saja. Pergi dari kenyataan yang semakin membuatnya menjadi jiwa yang haus akan sentuhan sayang sosok yang tengah memenuhi pikirannya. Sentuhan yang dulu selalu ia rasakan dan ingin terus ia rasakan seperti keinginannya saat ini.
            “Na Ri-ah…” terdengar suara lembut dari luar ruangan yeoja yang tengah termenung itu. Terdengar derap langkah selanjutnya. Semakin terdengar dari arah ruangan bernuansa biru laut dengan warna putih yang abstrak.
            Derit pintu sedikit mencairkan suasana sepi yang sebelumnya tercipta dalam ruangan biru laut itu. Kemudian terdengar lagi gesekan alas kaki yang beradu dengan lantai mendekati arah yeoja bernama Na Ri itu berada.
            “Na Ri-ah.. Gwaenchana, hm?” suara teduh itu membuat yeoja yang yang tadinya menghadap ke arah luar jendela, membalikkan badannya. Wajahnya terlihat sembab dan masih tersisa buliran rindu yang sejak tadi membasahi kedua pipinya.

ooOOOoo


Tetaplah menungguku sampai aku datang menjemputmu…

.
.

            Pelipisnya penuh peluh yang membanjiri hingga membuat pakaian yang dikenakannya basah. Nafasnya yang menderu masih belum terkontrol sepenuhnya. Bukan kali pertama ia mengalami ini. Dan sudah sering pula bayangan-bayangan itu menggelayuti tiap scene dalam bunga tidurnya yang seharusnya indah.
            Masih dengan menyandarkan tubuh yang terasa lemas, ia mencoba untuk menghirup udara sebanyak-banyaknya yang seakan dapat membuat beban yang tengah dipikulnya terangkat dari tiap rongga pikirnya. Sekitar lima menit berlalu, ia mencoba untuk bangkit dari duduknya. Langkahnya membawa tubuh berbalut kaos oblong biru toska keluar dari sebuah ruangan menuju  ruangan lain.
            Ia membuka pintu lemari es yang berada di sudut ruangan yang baru dipijaknya. Kemudian mengambil gelas kaca dan mengisinya dengan air yang terasa segar saat ia meneguknya dalam sekali tegukan. Haus. Ya, ia haus sejak terbangun dari tidur buruknya. Haus akan gejolak yang keluar saat peluhnya merembes ke dalam balutan kain yang dikenakannya. Atau yang membuat rambut sepunggungnya menjadi lembab.
            Setelah melakukan kegiatan ringan  yang membuatnya sedikit terlihat lebih segar dari sebelumnya, ia kembali melangkahkan kaki yang beralaskan sepasang sandal bulu berwarna pearl blue. Kali ini yang menjadi tujuannya adalah ruangan yang lebih luas dari ruangan sebelumnya tadi. Terdapat sebuah meja oval besar berbahan kaca yang berlapis pada atas meja. Sedang bagian pinggir serta kaki benda tersebut terbuat dari kayu jati diplistur rapi yang  menambah kesan elegannya.
            Di atas meja sudah tersedia beberapa menu sarapan pagi juga buah-buahan segar dan tentunya susu putih dengan wadah benda yang terlihat seperti benda yang tadi dipakainya. Empat buah kursi telah menunggu manis sang pemiliknya. Walaupun hanya terisi satu saja yang diduduki seorang yeoja paruh baya yang tersenyum ke arahnya.
            “Na Ri-ah. Ja!” yeoja dengan rambut yang digelung rapi itu membuka percakapan diakhiri senyuman menenangkan darinya.
            Ne, eomma.” Hanya kalimat pendek yang terucap dari bibir yeoja yang sedari tadi berdiri menatap yeoja paruh baya yang dipanggilnya ‘eomma’ dengan wajah yang dipaksakan dihiasi senyum tertekannya.

ooOOOoo


Aku hanya akan pergi sebentar, tidak lama, tunggulah…

.
.

            Kedua manik matanya yang coklat gelap itu menatap sebuah bingkai yang berdiri manis di meja kecil di sudut kamarnya. Pandangannya yang sendu seakan tenggelam dalam dua sosok yang tercetak dalam bingkai tersebut. Seorang yeoja tersenyum bahagia—yang menjadi copy-an sosok yang tengah melihat bingkai itu—bersanding dengan seorang namja yang juga tersenyum tak kalah bahagia dengan yeoja di sampingnya.
            “Yong Hwa-ah.. Neomu bogoshipda”.
            Lagi. Air matanya menganak sungai bersama rasa rindunya berbalut kesedihan. Sosok yang selalu menjadikannya alasan untuk terus tersenyum kini harus pergi meninggalkan raut pedih dalam tiap garis wajahnya. Sosok yang sejak delapan tahun yang lalu dikenalnya mendadak meninggalkan buliran sendu yang selalu membingkai paras yang sebenarnya elok dipandang.
           
ooOOOoo



Jangan khawatir, aku akan selalu di sampingmu.
.
.

            Langit menunjukkan guratan jingga yang membaur bersama kelabu yang kini penuh dengan gradasi warna jingga. Burung gagak kembali mengoak dengan angkuh melenyapkan kesunyian. Sedangkan gedung bertingkat tiga itu kini mulai ditinggal sendiri oleh para penghuninya. Walaupun masih terlihat beberapa remaja berseragam itu di beberapa tempat. Entah itu di lapangan dengan ring sebagai pelengkapnya ataupun anak-anak tangga di pinggir halaman yang luas—yang menemani canda gerombolan remaja yang tengah mendudukinya.
            Seperti dirinya yang memilih duduk beberapa meter dari tiga orang remaja yeoja yang menduduki anakan tangga dengan santai. Pandangannya terus mengarah pada gerombolan yang masih terlihat ceria di sore hari. Kadang ia mendengar beberapa kalimat yang terlontar dari mereka—yang lagi-lagi membuatnya mengulum senyum sendu.
            Masih teringat jelas dalam ingatannya. Teramat sangat jelas. Tiga tahun yang lalu ia juga seperti mereka. Mengocehkan berbagai hal dengan dua orang sahabatnya. Mulai dari drama terbaru, grup idol hingga tren busana saat itu. Park Shin Hye, sahabat yeojanya yang akan selalu beragumen tentang grup idol kesukaannya dengan Na Ri. Mereka pasti akan selalu mengungkit hal-hal baik dari grup idol kesukaan mereka masing-masing. Yang akan berbuntut pada pertengkaran kecil khas remaja dan akhirnya mau tak mau Jung Yong Hwa, sahabatnya yang satu lagi, akan menjadi wasit dalam pertandingan adu mulut itu.
Ah, rasanya kilasan itu sudah puluhan atau bahkan ratusan kali diputar di teater kenangannya. Dan selama itu terus berputar, yeoja berbalut kaos putih—dengan gambar anime yang tercetak di depannya—akan selalu mengulas senyum yang sama seperti yang baru saja dilakukannya. Yang berefek sesak didadanya.
            Park Shin Hye, sahabat yeoja satu-satunya selama tiga tahun dikehidupan sekolah menengah atasnya harus pergi meninggalkannya. Bukan hanya dirinya saja melainkan meninggalkan negeri gingseng, tempat di mana mereka mulai menyulam takdir hidup mereka. Dengan berat hati Na Ri melepas kepergian sahabat yang selalu menjadi teman sebelahnya di kelas—saat sekolah dulu—sehari setelah kelulusan mereka.
            Na Ri ingin sekali melarang kepergian Shin Hye waktu itu. Ia takut sendirian jika tidak ada Shin Hye di sampingnya. Walaupun masih ada Yong Hwa, sahabat yeoja pasti lebih dekat dengannya dan membuatnya leluasa untuk berbagi cerita. Namun, ia tak ingin Shin Hye melepas pendidikan yang sejak dulu sangat diimpikan sahabatnya itu. Mimpinya menjadi desainer busana terkenal menuntutnya hijrah ke suatu di mana Menara Eifell berada.
            Belum cukup gejolak yang menggerayangi Na Ri, seminggu kemudian ia mengharuskan melepas sahabatnya yang masih tersisa. Mental Na Ri saat itu langsung jatuh. Bahkan hanya untuk merangkak ia tak sanggup. Bagi Na Ri yang sangat susah untuk menjalani kehidupan sosialnya seperti manusia lainnya, dua orang sahabat sudah lebih dari cukup. Tapi mendengar kabar terakhir sahabatnya itu membuat dunianya seakan memakannya hidup-hidup.
            Kini, hanya eomma-nya yang menemani hidupnya. Lebih tepatnya menemani sisa hidupnya yang entah tinggal berapa lama lagi sel-sel tubuhnya bisa melawan serangan kanker ganas yang baru diketahuinya setahun ini. Dan ia terlambat mengetahuinya. Teramat sangat terlambat.
Sudah sejak dirinya sekolah di taman kanak-kanak hanya eomma satu-satunya yang selalu memberinya asupan kasih sayang. Eomma-nyalah yang selama ini selalu on time membagi waktu antara pekerjaannya untuk membiayai kehidupan mereka dan berperan sebagai eomma yang selalu rutin memberikan perhatian terhadap putri satu-satunya.

ooOOOoo


Percayalah, aku akan selalu ada bersamamu.
.
.

Deburan ombak yang menenangkan siapa saja yang mendengarnya. Apalagi angin yang selalu menyapa permukaan kulitnya hingga membuat nyiur bergoyang bergesekan dengan angin. Walaupun terik membuatnya harus menahan gerah yang dirasakannya. Yeoja itu terus-terusan berlari mengejar ombak dan berlari berlomba dengan ombak yang datang ketepian, terus seperti itu. Menghiraukan sepasang mata yang menangkap setiap gerak-gerik yeoja dengan dress santai selututnya yang sedikit basah dibagian bawahnya.
Rambut panjang yang tergerai ikut menari seirama dengan arah angin yang menerpanya. Membuat sebagian wajahnya tertutupi pandangannya. Gerakan tangannya yang luwes merapikan helaian rambut yang menutupi itu. Ia membenahi letak topinya yang sempat terjatuh diakhiri dengan kekehan kecil dari bibirnya.
Ya! Yong Hwa-ah! Kemari! Mari kita buat istana pasir yang besar!” yeoja itu menggerakan telapak tangan kanannya memberi kode agar namja yang dipanggil Yong Hwa itu mendekat.
Yang diajak hanya tersenyum kecil melihat tingkah kekanakan yeoja itu. Tapi ia tetap menuruti ajakan yeoja itu. Bahkan kini ia yang lebih bersemangat membangun istana pasir yang tadi dibanggakannya akan menjadi istana pasir terbesar dan terindah yang penuh cinta. Yeoja yang mendengarnya mencibirnya.
Ja! Eotteokhae? Seperti yang kujanjikan bukan?” ucapnya penuh kebanggaan yang masih dibalas cibiran oleh yeoja itu.
“Ck. Lagian kau menggunakan ember besar. Pasti hasilnya akan besar pula,” cibir yeoja itu.
Ya! Na Ri-ah! Bisakah kau hentikan cibiranmu itu. Lama-lama mulutmu itu akan penuh dengan cibiran,” teriak Yong Hwa.
Ddrrrt... ddddrrtt….
Chakhaman,” ujar Yong Hwa memberi kode bahwa ia akan menjawab panggilan telpon dari ponselnya. Na Ri yang tadinya akan membalas perkataan Yong Hwa berdecak kesal. Iapun menyibukan diri dengan ponselnya. Mengambil selca dengan postur tegap yang tengah membelakinya itu sebanyak mungkin. Entahlah, tiba-tiba ia ingin sekali mengambil banyak potret sosok namja yang sebenarnya telah mencuri perhatiannya sejak dulu. Namun, ia tak mau merusak persahabatan mereka dan memilih bungkam.
Sosok yang sedari tadi menjadi perhatiannya penuh sepertinya telah selesai dengan panggilan telponnya karena tangannya lincah memasukan benda tersebut ke dalam saku celananya. Kemudian tubuhnya berbalik hingga Na Ri bisa melihat guratan kecemasan yang sepertinya tengah disembunyikan namja itu.
“Na Ri-ah, mianhe, aku harus pergi ke suatu tempat. Tetaplah menungguku sampai aku datang menjemputmu,” suaranya sedikit tersengal. Sepertinya Yong Hwa sedang menghkawatirkan sesuatu, tapi apa?
Waeyo? Apakah ada sesuatu? Haruskah aku pergi bersamamu?” Tanya Na Ri yang juga ikut khawatir.
Anni. Aku hanya akan pergi sebentar, tidak lama, tunggulah..” Yong Hwa mencoba menenangkan Na Ri dengan menepuk kedua bahu Na Ri dengan lembut dan meyakinkan lewat sorot matanya.
Na Ri pun hanya dapat mengangguk pasrah. Ia mendesah pelan ketika melihat bayangan Yong Hwa yang semakin menjauh. Menghilang ditikungan bersama mobil hitamnya. Kecemasan seketika menyergapnya dalam kekalutan. Bahkan perasaannya mendadak menjadi tidak enak. Ia menerka apa yang akan terjadi pada Yong Hwa, tapi cepat-cepat ia tepis. Ia tak menyangka pikiran itu akan terbesit olehnya.
Matahari hampir menempati tempat peraduannya. Dan hingga saat ini sosok Yong Hwa belum menampakkan batang hidungnya. Sudah beberapa kali ia mencoba menghubungi ponsel namja itu tapi selalu terhubung pada mail box. Lagi-lagi pikiran yang tadi sempat terbesit kini menampakkan lagi. Menyeret paksa ke dalam lingkup kekhawatiran yang semakin dalam.
Na Ri terus menggelengkan kepalanya mencoba menghilangkan pikiran-pikiran yang tidak mau diterima oleh akal sehatnya. Walaupun ada sedikit dari dirinya yang percaya pada pikiran-pikiran itu, tetap saja ia tak mau memikirkannya, apalagi membayangkannya. Lima menit kemudian sebuah panggilan dari ponselnya membuyarkan perdebatannya dengan dirinya sendiri.
Yeoboseyo.. Ya! Yong Hwa-ah, neo eodiga? Nugu? Ye, naegaMwo??!” ponsel touchscreen-nya itu terlepas dari genggamannya dan mendarat mulus di atas pasir putih. Kedua matanya sukses membuat matanya membulat menghilangkan kesan sipit dari yang biasa ditampakannya. Sedangkan mulutnya membuka disertai getaran tertahannya.
Air mata yang berusaha dibendungnya terlepas bebas membasahi kedua pipinya. Pandangan blur-nya yang mengarah ke arah perginya sosok yang sedari tadi ditunggunya, kosong. Kedua tangannya mengepal erat, mencengkram dress yang dipakainya yang pasti akan membekas lipatan abstrak nantinya.

ooOOOoo


Lorong yang kini tampak beberapa orang yang tengah mencemaskan sesuatu menyebarkan bau khas gedung itu. Sudah setengah jam yang lalu sepasang suami istri serta seorang yeoja itu menunggu seseorang di depan ruang instalasi gawat darurat. Yeoja itu masih menggunakan dress selututnya yang kini terdapat bercak merah berbau anyir.
Ia masih ingat tadi saat menerima telpon dari nomor ponsel Yong Hwa yang digunakan oleh orang lain. Orang itu mengabarkan bahwa pemilik nomor tersebut mengalami kecelakaan. Lantas ia langsung pergi ke tempat yang disebutkan orang tadi setelah mengumpulkan sisa kesadarannya.
Baru saja ia sampai di tempat kejadian, tubuh yang tadi siang masih terlihat kuat kini lemah. Na Ri ikut masuk ke dalam ambulans menemani Yong Hwa yang tengah dibantu oleh berbagai macam slang yang menempel pada tubuhnya. Na Ri tak melepas tangan Yong Hwa dari genggamannya.
            Tubuh yang penuh dengan darah itu didorong melewati koridor setelah turun dari ambulans. Na Ri masih tetap menggenggam erat tangan Yong Hwa. Tiba-tiba, Yong Hwa menggerakkan tangannya membuat Na Ri menatapnya kaget. Na Ri yang melihat kedua kelopak mata milik Yong Hwa perlahan membuka kembali menangis memanggil namja itu.
            Yong Hwa tersenyum tipis sambil menahan rasa sakitnya, “jangan khawatir aku akan selalu di sampingmu.” Na Ri menggeleng lemah. Matanya yang terus mengalirkan buliran bening itu meyakinkan Yong Hwa bahwa tidak akan terjadi apa-apa, semua pasti akan baik-baik saja.
            Yong Hwa kembali tersenyum pada Na Ri. Ia sangat mengerti ekspresi Na Ri saat ini. Sama seperti ekspresi yeoja itu seminggu yang lalu saat melepas kepergian Shin Hye di bandara Incheon. Dengan tangannya yang bergetar, Yong Hwa mengusap air mata Na Ri yang terus mengalir deras.
            Uljima.. Percayalah, aku akan selalu ada bersamamu,” lirih Yong Hwa. Setelah itu kesadarannya kembali hilang. Hingga saat ini ia belum mendapat kabar kembali tentang namja itu.
            Jung ahjumma masih menangis di samping Na Ri. Sedangkan Jung ahjussi mencoba menenangkan istrinya itu. Na Ri sendiri masih menangis bersama Jung ahjumma. Perhatian mereka teralih ketika mendengar suara pintu terbuka. Keluarlah seorang pria dengan pakaian operasinya yang menatap ketiga orang yang kini bangkit menunggu penjelasan darinya dengan tatapan berat. Na Ri dan kedua orang tua Yong Hwa mengerti isyarat itu kembali menangis. Jung ahjussi juga ikut menangis bersama Na Ri dan istrinya.
            Pria yang menatap berat keluarga pasiennya itu hanya bisa menepuk bahu Jung ahjussi mencoba meringankan kesedihan yang baru saja memvonis ketiga orang itu. Pria itu meninggalkan keluarga pasiennya dengan langkah berat. Kali ini dia gagal menyelamatkan satu nyawa.

ooOOOoo


Yong Hwa-ah..
Bagaimana kabarmu?
Apakah kau merindukanku?
Aku sangat merindukanmu di sini, teramat merindukanmu.
Tapi, sebentar lagi kita akan bertemu kembali..
Tunggu aku ya..
_Na Ri

Tulisan di perahu kertas itu mengambang terbawa deburan ombak. Anginpun ikut mengantarkannya meninggalkan sosok yeoja yang menaruhnya di tepi pantai. Masih dengan dress selututnya waktu itu. Ia kembali setelah tiga tahun memantapkan hati untuk mengenang kebersamaan dengan namja yang dicintainya—yang saat itu sangat membahagiakan sebelum peristiwa kelam itu terjadi.

END




written only on @ARAKIDA BLING^^ 
GO AWAY PLAGIARISM!!! 

2 komentar:

  1. karena dapet link dr fb, langsung deh meluncur ke blog.

    dua kata buat ff ini, jinjja daebak!!
    diksinya keren bgt. bisa rinci ngegambarin suasana dg dialog yg dkit.
    kereeennn!! ^^b

    BalasHapus
  2. Hwaaaaa!!
    Liat komentar dari unnie itu 'sesuatu' :D
    Jeongmal gomawo \(^.^)/
    tapi masih kalah sama bikinan unnie, hehehe...
    sekali lagi gomawo :* #kissbarengYongHwa

    BalasHapus