Anyeong haseyo.. Mianhe baru balik lagi setelah sekian lama berhibernasi (?)
FF ini sebenarnya udah lama banget membeku di folderku, pengin banget di share tapi karena baru bisa sekarang, ya akhirnya baru bisa di share....
Mian kalo masih ada typos...
Happy reading all ^^
Tittle : Memories
Author : Muna
Arakida aka HyeRim
Genre : Friendship,
Angst
Rate : T
Length : OneShot
Cast : Yoon Na Ri (OCs
or YOU)
Jung Yong
Hwa (CN.Blue)
Desclimer : This
story is my imagination. That isn’t real. Don’t bashing and go away plagiator!
Happy and Enjoy reading!^^
^^PRESENT^^
___©ARAKIDA. NOVEMBER 2012-JULI 2013. ALL RIGHT RESERVED___
Pantai indah itu, kebersamaan itu, kenangan itu…
.
.
Di
sinilah dia. Yeoja berbalut t-shirt pearl teal tengah menikmati
sunset indah di sungai Han dari balkon kamarnya di lantai dua. Manik coklatnya
menatap kosong lurus ke depan. Menjelajahi guratan-guratan jingga yang semakin
tebal warnanya. Seakan tenggelam ke dalam setiap garis kemerahan itu.
Masih
seperti saat ia menyelami pikirannya yang seperti coretan-coretan penuh tak
beraturan. Bayangan sosok namja yang
sudah lama mengganggu penuh kerja otaknya. Namja
yang dulu saat bersamanya membuat hatinya meletup seperti popcorn.
Juga
suatu memori yang membuatnya harus merasakan sesak hingga kini. Ingatan yang bagai
potongan-potongan film itu membiusnya dalam kesan kelam yang teramat dalam. Sudut
matanya pun tak tahan dengan buliran yang sedari tadi dibendungnya. Buliran
kesedihan dan rindu akan sosok namja
yang masih menyelipkan rasa cintanya dalam setiap sisi relungnya.
Ia
tak pernah meminta untuk mengingat kenangan yang membuatnya terus terbelenggu
dalam batas dimensi yang berbeda dari sebelumnya. Dimensi cintanya yang seakan
menginterupsinya. Ia juga sudah lelah mengeluarkan benda bening dari pelupuk
matanya. Ia juga ingin menjalani hidup yang tak seperti zona hitam putih-nya.
Jika
ia bisa memilih, ia ingin pergi saja. Pergi dari kenyataan yang semakin
membuatnya menjadi jiwa yang haus akan sentuhan sayang sosok yang tengah
memenuhi pikirannya. Sentuhan yang dulu selalu ia rasakan dan ingin terus ia
rasakan seperti keinginannya saat ini.
“Na
Ri-ah…” terdengar suara lembut dari
luar ruangan yeoja yang tengah
termenung itu. Terdengar derap langkah selanjutnya. Semakin terdengar dari arah
ruangan bernuansa biru laut dengan warna putih yang abstrak.
Derit
pintu sedikit mencairkan suasana sepi yang sebelumnya tercipta dalam ruangan
biru laut itu. Kemudian terdengar lagi gesekan alas kaki yang beradu dengan
lantai mendekati arah yeoja bernama
Na Ri itu berada.
“Na
Ri-ah.. Gwaenchana, hm?” suara teduh itu membuat yeoja yang yang tadinya menghadap ke arah luar jendela, membalikkan
badannya. Wajahnya terlihat sembab dan masih tersisa buliran rindu yang sejak
tadi membasahi kedua pipinya.
ooOOOoo
Tetaplah menungguku sampai aku datang menjemputmu…
.
.
Pelipisnya
penuh peluh yang membanjiri hingga membuat pakaian yang dikenakannya basah.
Nafasnya yang menderu masih belum terkontrol sepenuhnya. Bukan kali pertama ia
mengalami ini. Dan sudah sering pula bayangan-bayangan itu menggelayuti tiap scene dalam bunga tidurnya yang
seharusnya indah.
Masih
dengan menyandarkan tubuh yang terasa lemas, ia mencoba untuk menghirup udara
sebanyak-banyaknya yang seakan dapat membuat beban yang tengah dipikulnya
terangkat dari tiap rongga pikirnya. Sekitar lima menit berlalu, ia mencoba
untuk bangkit dari duduknya. Langkahnya membawa tubuh berbalut kaos oblong biru
toska keluar dari sebuah ruangan
menuju ruangan lain.
Ia
membuka pintu lemari es yang berada di sudut ruangan yang baru dipijaknya.
Kemudian mengambil gelas kaca dan mengisinya dengan air yang terasa segar saat
ia meneguknya dalam sekali tegukan. Haus. Ya, ia haus sejak terbangun dari
tidur buruknya. Haus akan gejolak yang keluar saat peluhnya merembes ke dalam
balutan kain yang dikenakannya. Atau yang membuat rambut sepunggungnya menjadi
lembab.
Setelah
melakukan kegiatan ringan yang
membuatnya sedikit terlihat lebih segar dari sebelumnya, ia kembali
melangkahkan kaki yang beralaskan sepasang sandal bulu berwarna pearl blue. Kali ini yang menjadi
tujuannya adalah ruangan yang lebih luas dari ruangan sebelumnya tadi. Terdapat
sebuah meja oval besar berbahan kaca yang berlapis pada atas meja. Sedang
bagian pinggir serta kaki benda tersebut terbuat dari kayu jati diplistur rapi
yang menambah kesan elegannya.
Di
atas meja sudah tersedia beberapa menu sarapan pagi juga buah-buahan segar dan
tentunya susu putih dengan wadah benda yang terlihat seperti benda yang tadi
dipakainya. Empat buah kursi telah menunggu manis sang pemiliknya. Walaupun
hanya terisi satu saja yang diduduki seorang yeoja paruh baya yang tersenyum ke arahnya.
“Na
Ri-ah. Ja!” yeoja dengan rambut
yang digelung rapi itu membuka percakapan diakhiri senyuman menenangkan
darinya.
“Ne, eomma.”
Hanya kalimat pendek yang terucap dari bibir yeoja yang sedari tadi berdiri menatap yeoja paruh baya yang dipanggilnya ‘eomma’ dengan wajah yang dipaksakan dihiasi senyum tertekannya.
ooOOOoo
Aku hanya akan pergi sebentar, tidak lama, tunggulah…
.
.
Kedua
manik matanya yang coklat gelap itu menatap sebuah bingkai yang berdiri manis
di meja kecil di sudut kamarnya. Pandangannya yang sendu seakan tenggelam dalam
dua sosok yang tercetak dalam bingkai tersebut. Seorang yeoja tersenyum bahagia—yang menjadi copy-an sosok yang tengah melihat bingkai itu—bersanding dengan
seorang namja yang juga tersenyum tak
kalah bahagia dengan yeoja di
sampingnya.
“Yong
Hwa-ah.. Neomu bogoshipda”.
Lagi.
Air matanya menganak sungai bersama rasa rindunya berbalut kesedihan. Sosok yang
selalu menjadikannya alasan untuk terus tersenyum kini harus pergi meninggalkan
raut pedih dalam tiap garis wajahnya. Sosok yang sejak delapan tahun yang lalu
dikenalnya mendadak meninggalkan buliran sendu yang selalu membingkai paras
yang sebenarnya elok dipandang.
ooOOOoo
Jangan khawatir, aku akan selalu di sampingmu.
.
.
Langit
menunjukkan guratan jingga yang membaur bersama kelabu yang kini penuh dengan
gradasi warna jingga. Burung gagak kembali mengoak dengan angkuh melenyapkan
kesunyian. Sedangkan gedung bertingkat tiga itu kini mulai ditinggal sendiri
oleh para penghuninya. Walaupun masih terlihat beberapa remaja berseragam itu
di beberapa
tempat. Entah itu di lapangan dengan ring sebagai pelengkapnya ataupun
anak-anak tangga di pinggir halaman yang luas—yang menemani canda gerombolan
remaja yang tengah mendudukinya.
Seperti
dirinya yang memilih duduk beberapa meter dari tiga orang remaja yeoja yang menduduki anakan tangga
dengan santai. Pandangannya terus mengarah pada gerombolan yang masih terlihat
ceria di sore hari. Kadang ia mendengar beberapa kalimat yang terlontar dari
mereka—yang lagi-lagi membuatnya mengulum senyum sendu.
Masih
teringat jelas dalam ingatannya. Teramat sangat jelas. Tiga tahun yang lalu ia
juga seperti mereka. Mengocehkan berbagai hal dengan dua orang sahabatnya.
Mulai dari drama terbaru, grup idol hingga tren busana saat itu. Park Shin Hye,
sahabat yeojanya yang akan selalu
beragumen tentang grup idol kesukaannya dengan Na Ri. Mereka pasti akan selalu
mengungkit hal-hal baik dari grup idol kesukaan mereka masing-masing. Yang akan
berbuntut pada pertengkaran kecil khas remaja dan akhirnya mau tak mau Jung
Yong Hwa, sahabatnya yang satu lagi, akan menjadi wasit dalam pertandingan adu
mulut itu.
Ah, rasanya kilasan itu
sudah puluhan atau bahkan ratusan kali diputar di teater kenangannya. Dan
selama itu terus berputar, yeoja
berbalut kaos putih—dengan gambar anime yang tercetak di depannya—akan selalu
mengulas senyum yang sama seperti yang baru saja dilakukannya. Yang berefek
sesak didadanya.
Park Shin Hye, sahabat yeoja satu-satunya selama tiga tahun
dikehidupan sekolah menengah atasnya harus pergi meninggalkannya. Bukan hanya
dirinya saja melainkan meninggalkan negeri gingseng, tempat di mana mereka
mulai menyulam takdir hidup mereka. Dengan berat hati Na Ri melepas kepergian
sahabat yang selalu menjadi teman sebelahnya di kelas—saat sekolah dulu—sehari
setelah kelulusan mereka.
Na
Ri ingin sekali melarang kepergian Shin Hye waktu itu. Ia takut sendirian jika
tidak ada Shin Hye di sampingnya. Walaupun masih ada Yong Hwa, sahabat yeoja pasti lebih dekat dengannya dan
membuatnya leluasa untuk berbagi cerita. Namun, ia tak ingin Shin Hye melepas
pendidikan yang sejak dulu sangat diimpikan sahabatnya itu. Mimpinya menjadi desainer
busana terkenal menuntutnya hijrah ke suatu
di mana Menara Eifell berada.
Belum
cukup gejolak yang menggerayangi Na Ri, seminggu kemudian ia mengharuskan
melepas sahabatnya yang masih tersisa. Mental Na Ri saat itu langsung jatuh.
Bahkan hanya untuk merangkak ia tak sanggup. Bagi Na Ri yang sangat susah untuk
menjalani kehidupan sosialnya seperti manusia lainnya, dua orang sahabat sudah
lebih dari cukup. Tapi mendengar kabar terakhir sahabatnya itu membuat dunianya
seakan memakannya hidup-hidup.
Kini,
hanya eomma-nya yang menemani
hidupnya. Lebih tepatnya menemani sisa hidupnya yang entah tinggal berapa lama
lagi sel-sel tubuhnya bisa melawan serangan kanker ganas yang baru diketahuinya
setahun ini. Dan ia terlambat mengetahuinya. Teramat sangat terlambat.
Sudah sejak dirinya
sekolah di taman kanak-kanak hanya eomma
satu-satunya yang selalu memberinya asupan kasih sayang. Eomma-nyalah yang selama ini selalu on time membagi waktu antara pekerjaannya untuk membiayai kehidupan
mereka dan berperan sebagai eomma
yang selalu rutin memberikan perhatian terhadap putri satu-satunya.
ooOOOoo
Percayalah, aku akan selalu ada bersamamu.
.
.
Deburan ombak yang
menenangkan siapa saja yang mendengarnya. Apalagi angin yang selalu menyapa
permukaan kulitnya hingga membuat nyiur bergoyang bergesekan dengan angin.
Walaupun terik membuatnya harus menahan gerah yang dirasakannya. Yeoja itu terus-terusan berlari mengejar
ombak dan berlari berlomba dengan ombak yang datang ketepian, terus seperti
itu. Menghiraukan sepasang mata yang menangkap setiap gerak-gerik yeoja dengan dress santai selututnya yang sedikit basah dibagian bawahnya.
Rambut panjang yang
tergerai ikut menari seirama dengan arah angin yang menerpanya. Membuat
sebagian wajahnya tertutupi pandangannya. Gerakan tangannya yang luwes
merapikan helaian rambut yang menutupi itu. Ia
membenahi letak topinya yang sempat terjatuh diakhiri
dengan kekehan kecil dari bibirnya.
“Ya! Yong Hwa-ah! Kemari!
Mari kita buat istana pasir yang besar!” yeoja
itu menggerakan telapak tangan kanannya memberi kode agar namja yang dipanggil Yong Hwa itu mendekat.
Yang diajak hanya
tersenyum kecil melihat tingkah kekanakan yeoja
itu. Tapi ia tetap menuruti ajakan yeoja
itu. Bahkan kini ia yang lebih bersemangat membangun istana pasir yang tadi
dibanggakannya akan menjadi istana pasir terbesar dan terindah yang penuh
cinta. Yeoja yang mendengarnya
mencibirnya.
“Ja! Eotteokhae? Seperti
yang kujanjikan bukan?” ucapnya penuh kebanggaan yang masih dibalas cibiran
oleh yeoja itu.
“Ck. Lagian kau
menggunakan ember besar. Pasti hasilnya akan besar pula,” cibir yeoja itu.
“Ya! Na Ri-ah! Bisakah kau
hentikan cibiranmu itu. Lama-lama mulutmu itu akan penuh dengan cibiran,”
teriak Yong Hwa.
Ddrrrt... ddddrrtt….
“Chakhaman,” ujar Yong Hwa memberi kode bahwa ia akan menjawab
panggilan telpon dari ponselnya. Na Ri yang tadinya akan membalas perkataan
Yong Hwa berdecak kesal. Iapun menyibukan diri dengan ponselnya. Mengambil selca dengan postur tegap yang tengah
membelakinya itu sebanyak mungkin. Entahlah, tiba-tiba ia ingin sekali
mengambil banyak potret sosok namja
yang sebenarnya telah mencuri perhatiannya sejak dulu. Namun, ia tak mau
merusak persahabatan mereka dan memilih bungkam.
Sosok yang sedari tadi
menjadi perhatiannya penuh sepertinya telah selesai dengan panggilan telponnya
karena tangannya lincah memasukan benda tersebut ke dalam saku celananya.
Kemudian tubuhnya berbalik hingga Na Ri bisa melihat guratan kecemasan yang
sepertinya tengah disembunyikan namja
itu.
“Na Ri-ah, mianhe,
aku harus pergi ke suatu tempat. Tetaplah menungguku sampai aku datang menjemputmu,”
suaranya sedikit tersengal. Sepertinya Yong Hwa sedang menghkawatirkan sesuatu,
tapi apa?
“Waeyo? Apakah ada sesuatu? Haruskah aku pergi bersamamu?” Tanya Na
Ri yang juga ikut khawatir.
“Anni. Aku hanya akan pergi sebentar, tidak lama, tunggulah..”
Yong Hwa mencoba menenangkan Na Ri dengan menepuk kedua bahu Na Ri dengan
lembut dan meyakinkan lewat sorot matanya.
Na Ri pun hanya dapat
mengangguk pasrah. Ia mendesah pelan ketika melihat bayangan Yong Hwa yang
semakin menjauh. Menghilang ditikungan bersama mobil hitamnya. Kecemasan seketika
menyergapnya dalam kekalutan. Bahkan perasaannya mendadak menjadi tidak enak.
Ia menerka apa yang akan terjadi pada Yong Hwa, tapi cepat-cepat ia tepis. Ia
tak menyangka pikiran itu akan terbesit olehnya.
Matahari hampir
menempati tempat peraduannya. Dan hingga saat ini sosok Yong Hwa belum
menampakkan batang hidungnya. Sudah beberapa kali ia mencoba menghubungi ponsel
namja itu tapi selalu terhubung pada mail box. Lagi-lagi pikiran yang tadi
sempat terbesit kini menampakkan lagi. Menyeret paksa ke dalam lingkup
kekhawatiran yang semakin dalam.
Na Ri terus
menggelengkan kepalanya mencoba menghilangkan pikiran-pikiran yang tidak mau
diterima oleh akal sehatnya. Walaupun ada sedikit dari dirinya yang percaya
pada pikiran-pikiran itu, tetap saja ia tak mau memikirkannya, apalagi
membayangkannya. Lima menit kemudian sebuah panggilan dari ponselnya membuyarkan
perdebatannya dengan dirinya sendiri.
“Yeoboseyo.. Ya! Yong Hwa-ah, neo
eodiga? Nugu? Ye, naega…
Mwo??!” ponsel touchscreen-nya itu terlepas dari genggamannya dan mendarat mulus di
atas pasir putih. Kedua matanya sukses membuat matanya membulat menghilangkan
kesan sipit dari yang biasa ditampakannya. Sedangkan mulutnya membuka disertai
getaran tertahannya.
Air mata yang berusaha
dibendungnya terlepas bebas membasahi kedua pipinya. Pandangan blur-nya yang mengarah ke arah perginya
sosok yang sedari tadi ditunggunya, kosong. Kedua tangannya mengepal erat, mencengkram
dress yang dipakainya yang pasti akan membekas lipatan abstrak nantinya.
ooOOOoo
Lorong yang kini tampak
beberapa orang yang tengah mencemaskan sesuatu menyebarkan bau khas gedung itu.
Sudah setengah jam yang lalu sepasang suami istri serta seorang yeoja itu menunggu seseorang di depan
ruang instalasi gawat darurat. Yeoja
itu masih menggunakan dress
selututnya yang kini terdapat bercak merah berbau anyir.
Ia masih ingat tadi
saat menerima telpon dari nomor ponsel Yong Hwa yang digunakan oleh orang lain.
Orang itu mengabarkan bahwa pemilik nomor tersebut mengalami kecelakaan. Lantas
ia langsung pergi ke tempat yang disebutkan orang tadi setelah mengumpulkan
sisa kesadarannya.
Baru saja ia sampai di
tempat kejadian, tubuh yang tadi siang masih terlihat kuat kini lemah. Na Ri
ikut masuk ke dalam ambulans menemani Yong Hwa yang tengah dibantu oleh
berbagai macam slang yang menempel pada tubuhnya. Na Ri tak melepas tangan Yong
Hwa dari genggamannya.
Tubuh
yang penuh dengan darah itu didorong melewati koridor setelah turun dari
ambulans. Na Ri masih tetap menggenggam erat tangan Yong Hwa. Tiba-tiba, Yong
Hwa menggerakkan tangannya membuat Na Ri menatapnya kaget. Na Ri yang melihat
kedua kelopak mata milik Yong Hwa perlahan membuka kembali menangis memanggil namja itu.
Yong
Hwa tersenyum tipis sambil menahan rasa sakitnya, “jangan khawatir aku akan selalu di
sampingmu.” Na Ri menggeleng lemah. Matanya yang
terus mengalirkan buliran bening itu meyakinkan Yong Hwa bahwa tidak akan
terjadi apa-apa, semua pasti akan baik-baik saja.
Yong
Hwa kembali tersenyum pada Na Ri. Ia sangat mengerti ekspresi Na Ri saat ini.
Sama seperti ekspresi yeoja itu
seminggu yang lalu saat melepas kepergian Shin Hye di bandara Incheon. Dengan
tangannya yang bergetar, Yong Hwa mengusap air mata Na Ri yang terus mengalir
deras.
“Uljima.. Percayalah, aku akan selalu ada bersamamu,”
lirih Yong Hwa. Setelah itu kesadarannya kembali hilang. Hingga saat ini ia
belum mendapat kabar kembali tentang namja
itu.
Jung
ahjumma masih menangis di samping Na
Ri. Sedangkan Jung ahjussi mencoba
menenangkan istrinya itu. Na Ri sendiri masih menangis bersama Jung ahjumma. Perhatian mereka teralih ketika
mendengar suara pintu terbuka. Keluarlah seorang pria dengan pakaian operasinya
yang menatap ketiga orang yang kini bangkit menunggu penjelasan darinya dengan
tatapan berat. Na Ri dan kedua orang tua Yong Hwa mengerti isyarat itu kembali menangis.
Jung ahjussi juga ikut menangis
bersama Na Ri dan istrinya.
Pria
yang menatap berat keluarga pasiennya itu hanya bisa menepuk bahu Jung ahjussi mencoba meringankan kesedihan
yang baru saja memvonis ketiga orang itu. Pria itu meninggalkan keluarga
pasiennya dengan langkah berat. Kali ini dia gagal menyelamatkan satu nyawa.
ooOOOoo
Yong
Hwa-ah..
Bagaimana
kabarmu?
Apakah
kau merindukanku?
Aku
sangat merindukanmu di sini, teramat merindukanmu.
Tapi,
sebentar lagi kita akan bertemu kembali..
Tunggu
aku ya..
_Na
Ri
Tulisan di perahu
kertas itu mengambang terbawa deburan ombak. Anginpun ikut mengantarkannya meninggalkan
sosok yeoja yang menaruhnya di tepi
pantai. Masih dengan dress selututnya
waktu itu. Ia kembali setelah tiga tahun memantapkan hati untuk mengenang
kebersamaan dengan namja yang
dicintainya—yang saat itu sangat membahagiakan sebelum peristiwa kelam itu
terjadi.
END
written only on @ARAKIDA BLING^^
GO AWAY PLAGIARISM!!!
karena dapet link dr fb, langsung deh meluncur ke blog.
BalasHapusdua kata buat ff ini, jinjja daebak!!
diksinya keren bgt. bisa rinci ngegambarin suasana dg dialog yg dkit.
kereeennn!! ^^b
Hwaaaaa!!
BalasHapusLiat komentar dari unnie itu 'sesuatu' :D
Jeongmal gomawo \(^.^)/
tapi masih kalah sama bikinan unnie, hehehe...
sekali lagi gomawo :* #kissbarengYongHwa